Hari Minggu. Hari Minggu yang paling kelabu.
Tante Erri, dengan mata sembab, menerima tamu-tamu yang melayat ke rumahnya. Ditemani oleh saudara-saudara dan keponakannya. Tante Grani dan Om Dennis pun juga ada.
"Erri, yang kuat ya. Yang kuat. Masih banyak saudara dan aku juga. Kita sekeluarga udah nganggep kamu sebagai saudara sendiri," ujar Tante Grani.
Tante Erri terdiam. Ia menarik napas sejenak. "Iya Grani, Dennis. Terima kasih banyak. Ini, mungkin cobaan untuk aku. Setelah Mas Rangga, kini..anakku satu-satunya," ujarnya lemas.
"Erri..Erri, maafin anakku. Kalau anakku, seandainya Angga," ucapan Om Dennis terpotong.
"Sudah-sudah, ini takdir Reana. Sudah, nggak usah diungkit lagi," ujar Tante Erri.
Seiring banyaknya karangan bunga yang datang, jasad Reana tetap terbujur kaku, dengan senyumnya yang manis.
--
"Re..re..," ujar Angga lirih. Ia baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
"Angga, Angga, ini gue," ujar Sadewa, kakaknya.
"Mas, Reana mana? Gue kecelakaan mas, gue udah hampir mati," ujar Angga. Dari nadanya ia panik, namun suaranya tetap pelan.
"Udah, lo istirahat dulu. Nanti kalau lo pulih, gue ceritain semua,".
"Mama sama papa mana?"
"Mereka...mereka lagi pergi. Udah, lo istirahat dulu, jangan banyak mikir," ujar Sadewa menenangkan Angga. Angga yang lemah dan tak berdaya, menurut saja dengan kakaknya. Tapi di otaknya, tampilan wajah Reana, suara tawanya, tidak pernah berhenti berkumandang.
--
"Misi, Tante. Turut berduka cita tante. Ini saya dan teman-teman sekelas dateng semua, tante," ujar Elis kepada Tante Erri.
Tante Erri tersenyum, tapi raut wajahnya sangat sedih. Ia melihat anak-anak SMA itu, dan pikirannya tak lepas dari wajah Reana.
"Makasih anak-anak sekalian. Tante minta maaf kalau Reana banyak salah. Maafin dia, ya. Mohon doanya," ujar Tante Erri menahan nangis.
"Tante, Reana baik kok. Dia baik,".
"Tante yang kuat ya, tante,"
Anak-anak itu bergantian menyemangati Tante Erri.
"Reana, teman-temanmu itu. Lucu. Mereka baik sama kamu," batin Tante Erri.
Ketika anak-anak itu menuju ke halaman, Kiran tidak segera mengikuti teman-temannya. Ia mendekati Tante Erri.
"Tante," ujarnya pelan.
"Eh iya, kenapa, nak?" tanya Tante Erri.
"Aku mau kasih hadiah terakhir ke Reana, boleh kan?" tanyanya.
"Eh, hadiah apa?" tanya Tante Erri heran.
"Mmm, gambar tante. Soalnya, Reana udah...udah baik banget sama aku. Aku pengen kasih hadiah. Oh ya, aku Kiran, tante,".
Tante Erri mengangguk, dan refleks ia memeluk Kiran. Kiran agak terkejut, tapi ia tersenyum.
"Makasih banyak, Kiran. Makasih banyak. Reana pasti senang, makasih ya," ujarnya berbisik pada Kiran.
Dan dari situ, ada seseorang yang tersenyum. Ia menikmati kebersamaan Tante Erri dan Kiran. Tanpa sadar, ia juga ingin menangis, meskipun tak bisa.
"Mom, I love you. Sorry, I'm leaving you alone. But, I'm still with you, don't cry" batinnya.
Dan jiwa Reana pun ikut berpelukan, bersama Kiran dan Tante Erri.
.
Tante Erri, dengan mata sembab, menerima tamu-tamu yang melayat ke rumahnya. Ditemani oleh saudara-saudara dan keponakannya. Tante Grani dan Om Dennis pun juga ada.
"Erri, yang kuat ya. Yang kuat. Masih banyak saudara dan aku juga. Kita sekeluarga udah nganggep kamu sebagai saudara sendiri," ujar Tante Grani.
Tante Erri terdiam. Ia menarik napas sejenak. "Iya Grani, Dennis. Terima kasih banyak. Ini, mungkin cobaan untuk aku. Setelah Mas Rangga, kini..anakku satu-satunya," ujarnya lemas.
"Erri..Erri, maafin anakku. Kalau anakku, seandainya Angga," ucapan Om Dennis terpotong.
"Sudah-sudah, ini takdir Reana. Sudah, nggak usah diungkit lagi," ujar Tante Erri.
Seiring banyaknya karangan bunga yang datang, jasad Reana tetap terbujur kaku, dengan senyumnya yang manis.
--
"Re..re..," ujar Angga lirih. Ia baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
"Angga, Angga, ini gue," ujar Sadewa, kakaknya.
"Mas, Reana mana? Gue kecelakaan mas, gue udah hampir mati," ujar Angga. Dari nadanya ia panik, namun suaranya tetap pelan.
"Udah, lo istirahat dulu. Nanti kalau lo pulih, gue ceritain semua,".
"Mama sama papa mana?"
"Mereka...mereka lagi pergi. Udah, lo istirahat dulu, jangan banyak mikir," ujar Sadewa menenangkan Angga. Angga yang lemah dan tak berdaya, menurut saja dengan kakaknya. Tapi di otaknya, tampilan wajah Reana, suara tawanya, tidak pernah berhenti berkumandang.
--
"Misi, Tante. Turut berduka cita tante. Ini saya dan teman-teman sekelas dateng semua, tante," ujar Elis kepada Tante Erri.
Tante Erri tersenyum, tapi raut wajahnya sangat sedih. Ia melihat anak-anak SMA itu, dan pikirannya tak lepas dari wajah Reana.
"Makasih anak-anak sekalian. Tante minta maaf kalau Reana banyak salah. Maafin dia, ya. Mohon doanya," ujar Tante Erri menahan nangis.
"Tante, Reana baik kok. Dia baik,".
"Tante yang kuat ya, tante,"
Anak-anak itu bergantian menyemangati Tante Erri.
"Reana, teman-temanmu itu. Lucu. Mereka baik sama kamu," batin Tante Erri.
Ketika anak-anak itu menuju ke halaman, Kiran tidak segera mengikuti teman-temannya. Ia mendekati Tante Erri.
"Tante," ujarnya pelan.
"Eh iya, kenapa, nak?" tanya Tante Erri.
"Aku mau kasih hadiah terakhir ke Reana, boleh kan?" tanyanya.
"Eh, hadiah apa?" tanya Tante Erri heran.
"Mmm, gambar tante. Soalnya, Reana udah...udah baik banget sama aku. Aku pengen kasih hadiah. Oh ya, aku Kiran, tante,".
Tante Erri mengangguk, dan refleks ia memeluk Kiran. Kiran agak terkejut, tapi ia tersenyum.
"Makasih banyak, Kiran. Makasih banyak. Reana pasti senang, makasih ya," ujarnya berbisik pada Kiran.
Dan dari situ, ada seseorang yang tersenyum. Ia menikmati kebersamaan Tante Erri dan Kiran. Tanpa sadar, ia juga ingin menangis, meskipun tak bisa.
"Mom, I love you. Sorry, I'm leaving you alone. But, I'm still with you, don't cry" batinnya.
Dan jiwa Reana pun ikut berpelukan, bersama Kiran dan Tante Erri.
.
Comments
Post a Comment