Gue, mungkin cowok berandal. Cowok yang nggak bisa apa-apa.
Tapi, lo terima gue, si brengsek ini. Lo ketawa dan susah sama gue.
Lo selalu dukung gue, lo ngarahin gue ke jalan yang bener, dan lo
selalu membuat gue tertawa.
Gue sayang sama lo. Dan yang gue lakukan saat ini, adalah menunggu waktu yang tepat,
untuk bilang semua ke lo.
A.
"Cieeeeeeh, Angga prikitiw!" teriak Dimas. Seisi kelas yang sedang belajar fisika, sontak terdiam semuanya. Bahkan, Erdi yang biasanya ketiduran di pojok belakang, sampai terbangun. Pak Guna yang matanya tajam pun, seakan meruncing matanya sampai menusuk mental Angga. "Angga, Dimas! Kalian ini ngobrol sendiri aja. Udah ngerti belom ini materinya? Udah kelas 3, bandelnya nggak ketulungan," bentak Pak Guna. "Matilah gue ini," ujar Angga dalam hati. "Eh, ini pak, tadi saya lagi nyoba ngerjain soal, terus Dimas...Dimas..gangguin saya, Pak!" ujar Angga. Dimas langsung menyikut Angga. "Dih, kok gua? Anjir lo!" bisik Dimas. Pak Guna pun mendekati meja mereka berdua. "Coba, Angga, apa itu kertas yang ada di hadapan kamu? Sini kasih saya!" perintah Pak Guna. Dengan semangat, justru Dimas yang memberikan kertas itu ke Pak Guna. Nggak butuh waktu lama untuk Pak Dimas membaca isi kertas "coretan" itu.
"Angga, bacakan ini di depan kelas, sekarang!" perintah Pak Guna. "Eh, pak, jangan dong. Mending bapak kasih saya PR satu bab, Pak" pinta Angga. Wajah Angga memelas, ditambah pipinya memerah. Pak Guna menggelengkan kepalanya. "Maju!" bentaknya.
Angga pun maju ke depan kelas. Langkahnya gontai, seperti mau dieksekusi. Lalu, dengan lemas, ia pun membaca puisi itu.
"Gue....ehm....gue...mung...mungkin, cowok, berandalan. Ehm, aduh. Terus, cow, cowok yang nggak bisa..apa-apa" ucapnya terbaata-bata. Dimas dan anak-anak lain mulai cekikikan.
"Ta..ta..pi..lo itu...ter...terima gue, ehm...apa adanya...si brengsek ini..lo ketawa, ehm iya ketawa sama, sus..sus...sus" ujarnya terbata-bata lagi. "Sus Merdeka, Pak! Hahahaha" celetuk teman sekelasnya. "Heh, heh diam semua" ujar Pak Guna. "Gue say...say.." ucapannya terputus. Tiba-tiba dilihatnyalah sosok yang ia tulis dalam puisi itu. Reana ada di kelasnya. Tanpa pikir panjang, ia pun mengelak. "Eh pak, ada tamu tuh. Udah ah pak, malu saya!" ujar Angga. "Ya sudah, duduk kamu. Eh itu, Reana, ada apa?" tanyanya kepada Reana. Reana yang linglung pun jadi salah tingkah sendiri. "Pak, ehm, ini, wali kelas saya minta laporan fisika anak-anak, Pak," ujar Reana. "Oh ya, ya sebentar ya," ujar Pak Guna. Sesaat sebelum Reana kembali ke kelasnya, ia sempat melihat wajah Angga. "Haha, muka lo, Ngga. Merah kayak kepiting, as usual," serunya dalam hati
--
Semakin lama, Reana pelan-pelan menyadari perasaannya. Dia bingung, kenapa seringkali salah tingkah di depan Angga. Sejuta kali ia meyakinkan dirinya untuk sadar, bahwa itu semua hanyalah perasaan sesaat. Tapi sejuta kali juga ia tahu, bahwa hatinya tidak sejalan dengan ucapannya.
"Udah lah, Re. Lo jujur aja sama dia. Apa susahnya sih?" tanya Elis. Reana menghela napas. "Lo tau nggak, Lis. Udah banyak cerita di luar sana. Persahabatan bisa hancur sama rasa cinta," ujarnya pasrah. Elis hanya menggelengkan kepala. Sejenak ia terdiam. Kelas yang kosong seolah jadi saksi bisu obrolan mereka.
"Tapi, lo kan tulus. I mean, cinta lo itu, bukan ngebet. Bukan mau menguasai Angga. Tapi, lo ada di sampingnya dia, dalam keadaan apapun," ujar Elis. Reana berpikir. "Eh iya, tapi, Lis. Waktu itu, insiden lukisan muka Angga..gue masih kepikiran. Gue rasa ada orang lain yang suka sama dia. Tapi gue beneran blank. Gue nggak tau siapa dia," ujarnya gelisah. "Aduh, Re. Apa sih yang lo takutin. Jangan nyerah dong sama rasa sayang lo ke Angga. Emangnya lo nggak pernah nyadar ya, kalo Angga pasti suka sama lo. Atau nggak, dia pernah ada rasa sama lo," ujar Elis meyakinkan. Reana cuma diam, bergelut sendiri sama perasaannya.
--
Malam itu, seperti malam-malam yang penuh kegalauan. Di kamar Angga yang gelap, ia memetik gitarnya. "Gila, hampir aja. Pak Guna parah aja loh. Gue bikinin lagu buat dia,ah!" ujarnya iseng.
Houwoooow, aku dipermalukan
Oleh seorang guru bernama Pak Gunawan
Di depan gadis menawan
Yang menjadi pujaan
Reana oh reanaaaa. ini aku Angga
Houwoooooouuuw
"Wakakakaa, ini lagu, asbun sumpah! Hahaha!" tawanya riang. Sambil memetik gitarnya lagi, ia lanjutkan lirik lagu edannya itu.
Reana oh reana
Ini aku, bocah berandal, yang selalu butuh tawamu
Yang butuh senyummu,
Yang mendukungku
Houwoooow
Angga tersenyum. Sambil ia bermain gitar, ia pun sambil membuka kumpulan foto dirinya dengan Reana. "Re, gue berani main gitar sambil goyang ngebor. Gue berani melakukan semuanya. Kecuali....kecuali mengakui semua yang ada di hati gue. Re, I feel like a loser," renungnya dalam hati.
Tapi, lo terima gue, si brengsek ini. Lo ketawa dan susah sama gue.
Lo selalu dukung gue, lo ngarahin gue ke jalan yang bener, dan lo
selalu membuat gue tertawa.
Gue sayang sama lo. Dan yang gue lakukan saat ini, adalah menunggu waktu yang tepat,
untuk bilang semua ke lo.
A.
"Cieeeeeeh, Angga prikitiw!" teriak Dimas. Seisi kelas yang sedang belajar fisika, sontak terdiam semuanya. Bahkan, Erdi yang biasanya ketiduran di pojok belakang, sampai terbangun. Pak Guna yang matanya tajam pun, seakan meruncing matanya sampai menusuk mental Angga. "Angga, Dimas! Kalian ini ngobrol sendiri aja. Udah ngerti belom ini materinya? Udah kelas 3, bandelnya nggak ketulungan," bentak Pak Guna. "Matilah gue ini," ujar Angga dalam hati. "Eh, ini pak, tadi saya lagi nyoba ngerjain soal, terus Dimas...Dimas..gangguin saya, Pak!" ujar Angga. Dimas langsung menyikut Angga. "Dih, kok gua? Anjir lo!" bisik Dimas. Pak Guna pun mendekati meja mereka berdua. "Coba, Angga, apa itu kertas yang ada di hadapan kamu? Sini kasih saya!" perintah Pak Guna. Dengan semangat, justru Dimas yang memberikan kertas itu ke Pak Guna. Nggak butuh waktu lama untuk Pak Dimas membaca isi kertas "coretan" itu.
"Angga, bacakan ini di depan kelas, sekarang!" perintah Pak Guna. "Eh, pak, jangan dong. Mending bapak kasih saya PR satu bab, Pak" pinta Angga. Wajah Angga memelas, ditambah pipinya memerah. Pak Guna menggelengkan kepalanya. "Maju!" bentaknya.
Angga pun maju ke depan kelas. Langkahnya gontai, seperti mau dieksekusi. Lalu, dengan lemas, ia pun membaca puisi itu.
"Gue....ehm....gue...mung...mungkin, cowok, berandalan. Ehm, aduh. Terus, cow, cowok yang nggak bisa..apa-apa" ucapnya terbaata-bata. Dimas dan anak-anak lain mulai cekikikan.
"Ta..ta..pi..lo itu...ter...terima gue, ehm...apa adanya...si brengsek ini..lo ketawa, ehm iya ketawa sama, sus..sus...sus" ujarnya terbata-bata lagi. "Sus Merdeka, Pak! Hahahaha" celetuk teman sekelasnya. "Heh, heh diam semua" ujar Pak Guna. "Gue say...say.." ucapannya terputus. Tiba-tiba dilihatnyalah sosok yang ia tulis dalam puisi itu. Reana ada di kelasnya. Tanpa pikir panjang, ia pun mengelak. "Eh pak, ada tamu tuh. Udah ah pak, malu saya!" ujar Angga. "Ya sudah, duduk kamu. Eh itu, Reana, ada apa?" tanyanya kepada Reana. Reana yang linglung pun jadi salah tingkah sendiri. "Pak, ehm, ini, wali kelas saya minta laporan fisika anak-anak, Pak," ujar Reana. "Oh ya, ya sebentar ya," ujar Pak Guna. Sesaat sebelum Reana kembali ke kelasnya, ia sempat melihat wajah Angga. "Haha, muka lo, Ngga. Merah kayak kepiting, as usual," serunya dalam hati
--
Semakin lama, Reana pelan-pelan menyadari perasaannya. Dia bingung, kenapa seringkali salah tingkah di depan Angga. Sejuta kali ia meyakinkan dirinya untuk sadar, bahwa itu semua hanyalah perasaan sesaat. Tapi sejuta kali juga ia tahu, bahwa hatinya tidak sejalan dengan ucapannya.
"Udah lah, Re. Lo jujur aja sama dia. Apa susahnya sih?" tanya Elis. Reana menghela napas. "Lo tau nggak, Lis. Udah banyak cerita di luar sana. Persahabatan bisa hancur sama rasa cinta," ujarnya pasrah. Elis hanya menggelengkan kepala. Sejenak ia terdiam. Kelas yang kosong seolah jadi saksi bisu obrolan mereka.
"Tapi, lo kan tulus. I mean, cinta lo itu, bukan ngebet. Bukan mau menguasai Angga. Tapi, lo ada di sampingnya dia, dalam keadaan apapun," ujar Elis. Reana berpikir. "Eh iya, tapi, Lis. Waktu itu, insiden lukisan muka Angga..gue masih kepikiran. Gue rasa ada orang lain yang suka sama dia. Tapi gue beneran blank. Gue nggak tau siapa dia," ujarnya gelisah. "Aduh, Re. Apa sih yang lo takutin. Jangan nyerah dong sama rasa sayang lo ke Angga. Emangnya lo nggak pernah nyadar ya, kalo Angga pasti suka sama lo. Atau nggak, dia pernah ada rasa sama lo," ujar Elis meyakinkan. Reana cuma diam, bergelut sendiri sama perasaannya.
--
Malam itu, seperti malam-malam yang penuh kegalauan. Di kamar Angga yang gelap, ia memetik gitarnya. "Gila, hampir aja. Pak Guna parah aja loh. Gue bikinin lagu buat dia,ah!" ujarnya iseng.
Houwoooow, aku dipermalukan
Oleh seorang guru bernama Pak Gunawan
Di depan gadis menawan
Yang menjadi pujaan
Reana oh reanaaaa. ini aku Angga
Houwoooooouuuw
"Wakakakaa, ini lagu, asbun sumpah! Hahaha!" tawanya riang. Sambil memetik gitarnya lagi, ia lanjutkan lirik lagu edannya itu.
Reana oh reana
Ini aku, bocah berandal, yang selalu butuh tawamu
Yang butuh senyummu,
Yang mendukungku
Houwoooow
Angga tersenyum. Sambil ia bermain gitar, ia pun sambil membuka kumpulan foto dirinya dengan Reana. "Re, gue berani main gitar sambil goyang ngebor. Gue berani melakukan semuanya. Kecuali....kecuali mengakui semua yang ada di hati gue. Re, I feel like a loser," renungnya dalam hati.
Comments
Post a Comment