Malam minggu pun tiba. Seperti biasa, Angga dan Reana rutin melakukan ritual malam minggu. Eits, jangan mikir yang aneh-aneh. Mereka selalu makan di Warung Nasi Goreng Mas Cahyo. Suasana malam itu, ramai seperti biasa. Banyak juga mbak-mbak dan mas-mas yang kerja di komplek situ, pacaran di warung. Untungnya, Reana dan Angga nggak terlalu ambil pusing. Menurut mereka, makin merakyat, makin asik! Hahaha.
Tapi suasana malam itu, berbeda dari biasanya. Reana, kembali melamun. Angga pun, jadi ikut terdiam juga.
"Ehm, Re, lo kenapa sih? Lo marah ya sama gue?" tanya Angga memecah keheningan. Reana terkejut dengan perkataan Angga. "Eh, ya ampun! Nggak kok, Angga. Enggak sama sekali. Emang lagi banyak pikiran aja gue. Haha," Reana memaksakan dirinya tertawa. Angga menatap wajah Reana lurus-lurus. "Re, liat muka gue!" perintah Angga. Reana pun memberanikan diri, melihat lekat-lekat orang yang ia sayangi itu. Perlahan, raut wajahnya berubah. Air mata Reana pun untuk kesekian kalinya kembali mengalir.
"Re, Reana! Please, Re. Cerita sama gue, lo kenapa? Ada yang marahin lo? Ada yang benci sama lo?" tanya Angga. Secara refleks, tangannya meraih tangan Reana. "Eng..enggak Angga. Gak ada yang jahat sama gue," ujarnya sambil sesenggukan.
"Tapi kok lo, lo bisa kayak gini? Lo nggak pernah ketawa lagi, Re," ujar Angga lemah.
"Angga, gue...gue nggak tahu, kenapa gue bisa kayak gini. Gue cuma takut," desah Reana.
"Takut apa? Gue kan disini. Elis, Tante Erri, semua ada disini. Lo nggak sendiri".
Reana melepaskan tangannya dari genggaman tangan Angga. Ia mengusap pipinya yang basah.
"Angga, gue tahu lo bakal disini. Tapi gue merasa gue nggak disini. Gue...gue yang bakal...," Reana berteriak dalam hatinya.
"Re, kita pulang yuk. Atau, lo mau ke mana lagi? Gue bakal nganterin lo." ujar Angga. Reana mengangguk. "Bisa anterin gue ke taman kunang-kunang. Yang dulu jadi tempat main kita pas SD. Masih inget kan?" tanyanya. Seberkas senyum terukir di bibir Angga. "Yuk, yuk kesana!" ujarnya semangat. Setelah membayar nasi goreng, mereka pun pergi.
Taman kunang-kunang bukanlah taman yang penuh bunga-bunga. Itu hanyalah sepetak tanah kosong yang lokasinya di belakang komplek tempat mereka tinggal.
"Angga, liat deh! Bagus banget! Kunang-kunang emang bagus ya, indah.." seru Reana. Melihat keriangan Reana kembali, Angga tersenyum, menarik napas lega. "Iya, Re. Bagus, selalu bagus kayak dulu waktu kita sering ke sini. Untung aja tanah di sini belom dijadiin rumah juga," ujar Angga. Reana menangguk dan kembali terpesona oleh kunang-kunang itu.
"Angga, lo nggak bosen apa, main sama gue?" tanyanya. Angga sontak terkejut.
"Maksud lo, apaan?" tanya Angga balik. Ia langsung merapatkan duduknya ke arah Reana. Reana tersenyum. Ia menoleh kepada Angga.
"Angga, gue udah jadi sobat lo, sejak kita SD. Lo nganter-jemput gue. Malem minggu sama gue mulu. Lo nggak bosen?" tanya Reana.
"Nggak tuh. Sama sekali enggak. Denger ya, Re. Gue nggak pernah ngerasa, lo itu kewajiban gue. Gue tulus kok, jadi temen lo. Yaaah, meskipun kadang lo suka kesambet macam kayak tadi, hahaha"
Reana pun ikut tertawa. Tiba-tiba Angga balik bertanya. "Kok lo nanya kayak gitu ke gue? tanya Angga. Reana menarik napasnya. "Angga, gue takut, lo terpaksa musti main sama gue, TIAP SAAT. Kalo lo jenuh atau apa. Lo nggak berniat punya cewek apa?" ujar Reana. Sebenarnya, pertanyaan Reana lebih terkesan menyelidiki, dibanding bertanya biasa. "Enggak, Re. Gue belom kepikiran. Gue sayang kok, Re. Sama lo." ujar Angga. Reana terdiam. Pipinya merona merah.
"Eh liat deh, Angga. Dulu mama gue cerita. Orang yang kita sayang itu, kalau dia udah meninggal, dia bakal jadi salah satu kunang-kunang," jelas Reana. Angga tersenyum. Matanya melihat ke wajah Reana. "Berarti, papa gue ada di sini, Ngga. Ya kan?" tanyanya. Angga mengangguk. "Re, kalau orang yang kita sayang itu meninggal, dia akan hidup di sini. Di hati kita," Angga meletakkan tangannya di dada. Reana tersenyum. "Iya juga, lo bener. Eh, balik yuk!" ajak Reana. Angga pun nurut saja.
Malam itu, mereka berdua pun akhirnya pulang dari taman kunang-kunang. Ketika akan kembali ke komplek, ternyata jalan pintas yang biasa mereka lalui sedang ditutup. Akhirnya, mereka pun harus kembali menelusuri jalan besar, sama seperti jalan yang mereka lalui saat datang.
Karena hari sudah malam, jalanan pun seringkali jadi ajang ngebut tukang angkot. Maka itu, jalanan jadi agak berbahaya. Saat Angga sedang putar balik, sebuah angkot dengan kecepatan tinggi mengarah padanya. Sialnya, si angkot maupun Angga tidak sempat menghindar. "Angga! Angga! Angga! awas...awas..aaaaaa!!!" teriak Reana. "Re.....pegangan Re, pegangan, aaaaa!" Angga pun berteriak.
BAM!!
Tabrakan pun terjadi. Motor Angga menabrak angkot. Angga dan Reana pun sampai terpelanting. Cairan merah dari tubuh keduanya mulai keluar dari kepala.
Saat itu, suasana menjadi senyap, gelap, dan kelam, bagi keduanya...
Tapi suasana malam itu, berbeda dari biasanya. Reana, kembali melamun. Angga pun, jadi ikut terdiam juga.
"Ehm, Re, lo kenapa sih? Lo marah ya sama gue?" tanya Angga memecah keheningan. Reana terkejut dengan perkataan Angga. "Eh, ya ampun! Nggak kok, Angga. Enggak sama sekali. Emang lagi banyak pikiran aja gue. Haha," Reana memaksakan dirinya tertawa. Angga menatap wajah Reana lurus-lurus. "Re, liat muka gue!" perintah Angga. Reana pun memberanikan diri, melihat lekat-lekat orang yang ia sayangi itu. Perlahan, raut wajahnya berubah. Air mata Reana pun untuk kesekian kalinya kembali mengalir.
"Re, Reana! Please, Re. Cerita sama gue, lo kenapa? Ada yang marahin lo? Ada yang benci sama lo?" tanya Angga. Secara refleks, tangannya meraih tangan Reana. "Eng..enggak Angga. Gak ada yang jahat sama gue," ujarnya sambil sesenggukan.
"Tapi kok lo, lo bisa kayak gini? Lo nggak pernah ketawa lagi, Re," ujar Angga lemah.
"Angga, gue...gue nggak tahu, kenapa gue bisa kayak gini. Gue cuma takut," desah Reana.
"Takut apa? Gue kan disini. Elis, Tante Erri, semua ada disini. Lo nggak sendiri".
Reana melepaskan tangannya dari genggaman tangan Angga. Ia mengusap pipinya yang basah.
"Angga, gue tahu lo bakal disini. Tapi gue merasa gue nggak disini. Gue...gue yang bakal...," Reana berteriak dalam hatinya.
"Re, kita pulang yuk. Atau, lo mau ke mana lagi? Gue bakal nganterin lo." ujar Angga. Reana mengangguk. "Bisa anterin gue ke taman kunang-kunang. Yang dulu jadi tempat main kita pas SD. Masih inget kan?" tanyanya. Seberkas senyum terukir di bibir Angga. "Yuk, yuk kesana!" ujarnya semangat. Setelah membayar nasi goreng, mereka pun pergi.
Taman kunang-kunang bukanlah taman yang penuh bunga-bunga. Itu hanyalah sepetak tanah kosong yang lokasinya di belakang komplek tempat mereka tinggal.
"Angga, liat deh! Bagus banget! Kunang-kunang emang bagus ya, indah.." seru Reana. Melihat keriangan Reana kembali, Angga tersenyum, menarik napas lega. "Iya, Re. Bagus, selalu bagus kayak dulu waktu kita sering ke sini. Untung aja tanah di sini belom dijadiin rumah juga," ujar Angga. Reana menangguk dan kembali terpesona oleh kunang-kunang itu.
"Angga, lo nggak bosen apa, main sama gue?" tanyanya. Angga sontak terkejut.
"Maksud lo, apaan?" tanya Angga balik. Ia langsung merapatkan duduknya ke arah Reana. Reana tersenyum. Ia menoleh kepada Angga.
"Angga, gue udah jadi sobat lo, sejak kita SD. Lo nganter-jemput gue. Malem minggu sama gue mulu. Lo nggak bosen?" tanya Reana.
"Nggak tuh. Sama sekali enggak. Denger ya, Re. Gue nggak pernah ngerasa, lo itu kewajiban gue. Gue tulus kok, jadi temen lo. Yaaah, meskipun kadang lo suka kesambet macam kayak tadi, hahaha"
Reana pun ikut tertawa. Tiba-tiba Angga balik bertanya. "Kok lo nanya kayak gitu ke gue? tanya Angga. Reana menarik napasnya. "Angga, gue takut, lo terpaksa musti main sama gue, TIAP SAAT. Kalo lo jenuh atau apa. Lo nggak berniat punya cewek apa?" ujar Reana. Sebenarnya, pertanyaan Reana lebih terkesan menyelidiki, dibanding bertanya biasa. "Enggak, Re. Gue belom kepikiran. Gue sayang kok, Re. Sama lo." ujar Angga. Reana terdiam. Pipinya merona merah.
"Eh liat deh, Angga. Dulu mama gue cerita. Orang yang kita sayang itu, kalau dia udah meninggal, dia bakal jadi salah satu kunang-kunang," jelas Reana. Angga tersenyum. Matanya melihat ke wajah Reana. "Berarti, papa gue ada di sini, Ngga. Ya kan?" tanyanya. Angga mengangguk. "Re, kalau orang yang kita sayang itu meninggal, dia akan hidup di sini. Di hati kita," Angga meletakkan tangannya di dada. Reana tersenyum. "Iya juga, lo bener. Eh, balik yuk!" ajak Reana. Angga pun nurut saja.
Malam itu, mereka berdua pun akhirnya pulang dari taman kunang-kunang. Ketika akan kembali ke komplek, ternyata jalan pintas yang biasa mereka lalui sedang ditutup. Akhirnya, mereka pun harus kembali menelusuri jalan besar, sama seperti jalan yang mereka lalui saat datang.
Karena hari sudah malam, jalanan pun seringkali jadi ajang ngebut tukang angkot. Maka itu, jalanan jadi agak berbahaya. Saat Angga sedang putar balik, sebuah angkot dengan kecepatan tinggi mengarah padanya. Sialnya, si angkot maupun Angga tidak sempat menghindar. "Angga! Angga! Angga! awas...awas..aaaaaa!!!" teriak Reana. "Re.....pegangan Re, pegangan, aaaaa!" Angga pun berteriak.
BAM!!
Tabrakan pun terjadi. Motor Angga menabrak angkot. Angga dan Reana pun sampai terpelanting. Cairan merah dari tubuh keduanya mulai keluar dari kepala.
Saat itu, suasana menjadi senyap, gelap, dan kelam, bagi keduanya...
Comments
Post a Comment