"Kalau emang waktu gue memang udah selesai, gue rela. Toh, bukan jasad yang membuat gue hidup. Tapi cinta, cinta gue buat dia. Selamanya."
Dan semua pun sunyi, gelap, bahkan hembusan napas pun tak ada.
--
Pintu UGD terbuka. Dua buah bangsal siap membawa tubuh Reana dan Angga. Keduanya tak sadarkan diri. "Dok, anak-anak ini kritis. Keduanya harus segera dioperasi," ujar seorang perawat begitu Reana dan Angga sampai di ruang UGD. "Baik, akan segera saya hubungi Dokter Emil dan Dokter Nakula. Tolong siapkan ruang operasi segera!" ujar Dokter Andi tegas. Kebetulan ia yang mendapat tugas jaga malam itu.
"Mana kedua orang tua anak-anak itu? Kok mereka sampai kecelakaan?" tanya Dokter Andi kepada salah seorang perawat.
"Kecelakaan, dok. Tabrak lari sama angkot. Orang tua mereka ada di luar, masih histeris," ujar seorang suster cepat-cepat.
--
"Papa, mana Sadewa, Pa? Angga gimana, Pa? Anggaaaaaa...!" teriak Tante Grani sambil menangis. Om Dennis pun berusaha menenangkan istrinya. "Tenang, Ma. Sadewa sudah menuju ke sini sebentar lagi. Ma, ayo kita doakan Angga, Ma. Ayo, Ma," bujuk Om Dennis. Tiba-tiba ada sesosok wanita berdiri di pintu depan UGD.
"Grani!," teriaknya.
Tante Grani segera menengok, mencari sumber suara itu. Ketika mata mereka berpandangan, mereka pun langsung mendekat dan berpelukan. Keduanya menangis.
"Grani, Dennis, Reana gimana? Reana gimana, Gran? Aku nggak punya siapa-siapa lagi kalau dia pergi...," ujarnya sambil menangis."Erri, Erri, kita sama-sama gelisah, sama-sama takut. Aku juga takut Erri. Putra bungsuku, dan, Reana juga," seru Tante Grani tersedu-sedu.
"Keluarga dari Reana dan Angga?" tanya seorang suster. Om Dennis yang paling tenang pun langsung beranjak dari tempat duduknya. "Iya sus, saya ayah Angga dan ini ibunya Reana," ujarnya sambil menunjuk Tante Erri. Om Dennis tenang, tapi tampak sekali raut khawatir, sedih, dan matanya pun basah. "Ehm, tapi biarkan saya yang jadi perwakilan. Ada apa, Sus?" sambung Om Dennis lagi.
"Reana dan Angga mengalami pendarahan parah di kepala. Keduanya akan segera dioperasi. Saya menanyakan persetujuan dari pihak keluarga, Pak" ujar suster tersebut sambil menyerahkan seberkas kertas.
"Lakukan, sus. Kami setuju. Usahakan yang terbaik bagi kedua anak kami, Sus," ujarnya.
--
Di Ruang Operasi..
"Dok, bagaimana kondisinya? Stabil dua-duanya?" tanya Dokter Andi. Angga dan Reana ada dalam satu ruang operasi. "Hmm, yang laki-laki lebih parah, Dok." ujar Dokter Emil. "Darahnya sudah terlalu banyak yang keluar. Kita butuh transfusi," sambung Dokter Emil.
Tiba-tiba, baik Angga maupun Reana, mengalami perlambatan pada detak jantungnya.
--
"Angga, stay alive please..Stay in here,"
"Gimana kalau gue nggak mau ninggalin lo? Please, Re. Gue mau di sini sama lo. Di sini terang, hangat. Selama ada lo,"
"It's not your time. It's mine. You will stay alive. Okay? I'm staying in here. I'm not going anywhere. In your heart,"
Dan alat pendeteksi jantung itu berbunyi. Namun, hanya sebuah saja.
--
Malam itu, tetap gelap seperti biasa. Dan kamar Kiran pun tetap sunyi. Tak ada apapun di kamar itu. Kiran pun sedang nyenyak tertidur. Matanya terpejam.
Raut wajahnya yang tenang, tiba-tiba mengerut. Ia gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya mulai bergerak tak tenang.
"Haaaaaah!" teriaknya singkat. Ia membuka mata. Ia menarik napas dan mengelap dahinya yang berkeringat.
"Nggak Re. Lo nggak boleh pergi. Nggak! gue cuma mimpi!" gumamnya. Ia pun memutuskan untuk tidur kembali.
Ketika ia mulai stabil, matanya perlahan tertutup. Tapi Kiran belum sepenuhnya tidur. Di saat setengah sadar, ia merasa ada suara yang berbisik halus.
"Kiran, jagain Angga, ya. I trust you, thanks,"
Kiran yang setengah sadar mencoba untuk tidak menghiraukannya.
Dan semua pun sunyi, gelap, bahkan hembusan napas pun tak ada.
--
Pintu UGD terbuka. Dua buah bangsal siap membawa tubuh Reana dan Angga. Keduanya tak sadarkan diri. "Dok, anak-anak ini kritis. Keduanya harus segera dioperasi," ujar seorang perawat begitu Reana dan Angga sampai di ruang UGD. "Baik, akan segera saya hubungi Dokter Emil dan Dokter Nakula. Tolong siapkan ruang operasi segera!" ujar Dokter Andi tegas. Kebetulan ia yang mendapat tugas jaga malam itu.
"Mana kedua orang tua anak-anak itu? Kok mereka sampai kecelakaan?" tanya Dokter Andi kepada salah seorang perawat.
"Kecelakaan, dok. Tabrak lari sama angkot. Orang tua mereka ada di luar, masih histeris," ujar seorang suster cepat-cepat.
--
"Papa, mana Sadewa, Pa? Angga gimana, Pa? Anggaaaaaa...!" teriak Tante Grani sambil menangis. Om Dennis pun berusaha menenangkan istrinya. "Tenang, Ma. Sadewa sudah menuju ke sini sebentar lagi. Ma, ayo kita doakan Angga, Ma. Ayo, Ma," bujuk Om Dennis. Tiba-tiba ada sesosok wanita berdiri di pintu depan UGD.
"Grani!," teriaknya.
Tante Grani segera menengok, mencari sumber suara itu. Ketika mata mereka berpandangan, mereka pun langsung mendekat dan berpelukan. Keduanya menangis.
"Grani, Dennis, Reana gimana? Reana gimana, Gran? Aku nggak punya siapa-siapa lagi kalau dia pergi...," ujarnya sambil menangis."Erri, Erri, kita sama-sama gelisah, sama-sama takut. Aku juga takut Erri. Putra bungsuku, dan, Reana juga," seru Tante Grani tersedu-sedu.
"Keluarga dari Reana dan Angga?" tanya seorang suster. Om Dennis yang paling tenang pun langsung beranjak dari tempat duduknya. "Iya sus, saya ayah Angga dan ini ibunya Reana," ujarnya sambil menunjuk Tante Erri. Om Dennis tenang, tapi tampak sekali raut khawatir, sedih, dan matanya pun basah. "Ehm, tapi biarkan saya yang jadi perwakilan. Ada apa, Sus?" sambung Om Dennis lagi.
"Reana dan Angga mengalami pendarahan parah di kepala. Keduanya akan segera dioperasi. Saya menanyakan persetujuan dari pihak keluarga, Pak" ujar suster tersebut sambil menyerahkan seberkas kertas.
"Lakukan, sus. Kami setuju. Usahakan yang terbaik bagi kedua anak kami, Sus," ujarnya.
--
Di Ruang Operasi..
"Dok, bagaimana kondisinya? Stabil dua-duanya?" tanya Dokter Andi. Angga dan Reana ada dalam satu ruang operasi. "Hmm, yang laki-laki lebih parah, Dok." ujar Dokter Emil. "Darahnya sudah terlalu banyak yang keluar. Kita butuh transfusi," sambung Dokter Emil.
Tiba-tiba, baik Angga maupun Reana, mengalami perlambatan pada detak jantungnya.
--
"Angga, stay alive please..Stay in here,"
"Gimana kalau gue nggak mau ninggalin lo? Please, Re. Gue mau di sini sama lo. Di sini terang, hangat. Selama ada lo,"
"It's not your time. It's mine. You will stay alive. Okay? I'm staying in here. I'm not going anywhere. In your heart,"
Dan alat pendeteksi jantung itu berbunyi. Namun, hanya sebuah saja.
--
Malam itu, tetap gelap seperti biasa. Dan kamar Kiran pun tetap sunyi. Tak ada apapun di kamar itu. Kiran pun sedang nyenyak tertidur. Matanya terpejam.
Raut wajahnya yang tenang, tiba-tiba mengerut. Ia gelisah dalam tidurnya. Tubuhnya mulai bergerak tak tenang.
"Haaaaaah!" teriaknya singkat. Ia membuka mata. Ia menarik napas dan mengelap dahinya yang berkeringat.
"Nggak Re. Lo nggak boleh pergi. Nggak! gue cuma mimpi!" gumamnya. Ia pun memutuskan untuk tidur kembali.
Ketika ia mulai stabil, matanya perlahan tertutup. Tapi Kiran belum sepenuhnya tidur. Di saat setengah sadar, ia merasa ada suara yang berbisik halus.
"Kiran, jagain Angga, ya. I trust you, thanks,"
Kiran yang setengah sadar mencoba untuk tidak menghiraukannya.
Comments
Post a Comment