"Jadi Reana udah nggak ada? Beneran ngga ada? Kenapa lo gak bilang gue, kak? Kenapa??" bentak Angga kepada Sadewa
"Angga, gue juga nggak bermaksud buat nyembunyiin. Gue nunggu lo pulih," ujar Sadewa.
"Angga, tenang, Angga, tenang," ujar Tante Grani.
Angga semakin emosi. "Tenang! Tenang apanya, Ma? Sahabat aku, orang yang paling aku sayang meninggal, Mama bilang TENANG? NGGAK AKAN AKU TENANG, MA!" Angga teriak, mengeluarkan semua emosinya.
Perlahan, ia memegang kepalanya. Segera, Sadewa dan Om Dennis menahan tubuh Angga, dan merebahkannya kembali di tempat tidur.
"Angga, Reana pergi bukan salah kamu. Memang sudah.." ujar Om Dennis.
"Udah waktunya. Iya, aku tau. Tapi tetep aja, kalo waktu itu kita gak pergi, kita make helm. Kalo aja aku yang pergi," ujar Angga pelan. Pandangannya kosong.
Tiba-tiba Tante Grani menangis. "Angga, Angga nggak boleh ngomong gitu. Reana juga udah Mama anggap kayak anak sendiri. Mama juga sedih. Angga jangan nyeselin hidup kayak gitu, Mama...mama nggak mau kehilangan anak lagi," ujar Tante Grani terisak.
Angga terdiam. Perlahan ia pun menangis.
"Pa, Ma, Kak Dewa, aku mau tidur dulu. Mending Papa, Mama, sama Kak Sadewa istirahat aja di kantin bawah. Please, aku butuh waktu sendiri," ujar Angga pelan.
"Angga, istirahat ya. Dan ingat, kami juga sedih karena kehilangan Reana. Tapi kami mohon, jangan terus-menerus menyalahkan diri kamu. Ini sudah takdir yang diatas," ujar Om Dennis. Angga diam.
Mereka bertiga pun pergi meninggalkan Angga sendirian di kamarnya.
Angga berusaha untuk tidur. Pelan-pelan ia memejamkan matanya. Tapi terasa ada yang aneh. Dengan mata setengah terbuka, ia melihat ada sesosok gadis berpakaian putih.
"Re..Rere?" ujarnya perlahan. Bayangan putih itu menggengam tangan Angga yang masih diinfus.
"Angga, like I said before, jangan sedih. Gue selalu ada buat lo. Cepet sembuh ya, cepet balik ke sekolah. Ada seseorang nunggu lo." ujar bayangan itu.
Angga merasa sinting. Ia pikir ia berhalusinasi. Tapi tak ada yang membuatnya lebih tenang, selain kesintingannya untuk berbicara dengan si bayangan.
--
"Elis, gue boleh duduk di sini? Gue biasanya duduk sendiri. Dan kebetulan lo duduk sendiri. Boleh ngga?" tanya Kiran saat istirahat.
Raut muka Elis langsung sebal. "Ish, seenaknya. Mentang-mentang Rere dah nggak ada. Ah tapi daripada sendirian," pikir Elis dalam hati.
"Ya udah gih, duduk aja." ujarnya ketus.
Kiran menarik napas lega, lalu tersenyum. "Makasih banyak ya, Elis," ujarnya.
"Iya, Rere," ujar Elis tanpa sadar.
"Eh, apaan? Tadi lo bilang..." Kiran menyahut. Elis pun langsung kelabakan. Ia bingung sendiri atas apa yang barusan ia katakan. "Eh, maksud gue, elo Kiran. Iye, iye Kiran," ujar Elis.
Kiran pun langsung pergi menuju ke perpustakaan.
Elis melihat kepergian Kiran, dan merenung.
"Sumpah gue nggak bohong. Tadi sepintas gue ngeliat....Reana. Rere! Aduh apaan sih otak gue. Tapi, Kiran sama Rere kan...." ia berpikir, lalu terdiam lagi.
"Seandainya lo beneran ada disini, Re. Masih disini. Gue kangen sama lo." ujar Elis pelan. Memori akan sahabatnya itu pun berputar di kepalanya. Mendadak kelas terasa hening.
Dan siang itu, si bayangan merangkul Elis. Tersenyum, memberi semangat. Seperti yang biasa ia lakukan semasa hidupnya.
"Angga, gue juga nggak bermaksud buat nyembunyiin. Gue nunggu lo pulih," ujar Sadewa.
"Angga, tenang, Angga, tenang," ujar Tante Grani.
Angga semakin emosi. "Tenang! Tenang apanya, Ma? Sahabat aku, orang yang paling aku sayang meninggal, Mama bilang TENANG? NGGAK AKAN AKU TENANG, MA!" Angga teriak, mengeluarkan semua emosinya.
Perlahan, ia memegang kepalanya. Segera, Sadewa dan Om Dennis menahan tubuh Angga, dan merebahkannya kembali di tempat tidur.
"Angga, Reana pergi bukan salah kamu. Memang sudah.." ujar Om Dennis.
"Udah waktunya. Iya, aku tau. Tapi tetep aja, kalo waktu itu kita gak pergi, kita make helm. Kalo aja aku yang pergi," ujar Angga pelan. Pandangannya kosong.
Tiba-tiba Tante Grani menangis. "Angga, Angga nggak boleh ngomong gitu. Reana juga udah Mama anggap kayak anak sendiri. Mama juga sedih. Angga jangan nyeselin hidup kayak gitu, Mama...mama nggak mau kehilangan anak lagi," ujar Tante Grani terisak.
Angga terdiam. Perlahan ia pun menangis.
"Pa, Ma, Kak Dewa, aku mau tidur dulu. Mending Papa, Mama, sama Kak Sadewa istirahat aja di kantin bawah. Please, aku butuh waktu sendiri," ujar Angga pelan.
"Angga, istirahat ya. Dan ingat, kami juga sedih karena kehilangan Reana. Tapi kami mohon, jangan terus-menerus menyalahkan diri kamu. Ini sudah takdir yang diatas," ujar Om Dennis. Angga diam.
Mereka bertiga pun pergi meninggalkan Angga sendirian di kamarnya.
Angga berusaha untuk tidur. Pelan-pelan ia memejamkan matanya. Tapi terasa ada yang aneh. Dengan mata setengah terbuka, ia melihat ada sesosok gadis berpakaian putih.
"Re..Rere?" ujarnya perlahan. Bayangan putih itu menggengam tangan Angga yang masih diinfus.
"Angga, like I said before, jangan sedih. Gue selalu ada buat lo. Cepet sembuh ya, cepet balik ke sekolah. Ada seseorang nunggu lo." ujar bayangan itu.
Angga merasa sinting. Ia pikir ia berhalusinasi. Tapi tak ada yang membuatnya lebih tenang, selain kesintingannya untuk berbicara dengan si bayangan.
--
"Elis, gue boleh duduk di sini? Gue biasanya duduk sendiri. Dan kebetulan lo duduk sendiri. Boleh ngga?" tanya Kiran saat istirahat.
Raut muka Elis langsung sebal. "Ish, seenaknya. Mentang-mentang Rere dah nggak ada. Ah tapi daripada sendirian," pikir Elis dalam hati.
"Ya udah gih, duduk aja." ujarnya ketus.
Kiran menarik napas lega, lalu tersenyum. "Makasih banyak ya, Elis," ujarnya.
"Iya, Rere," ujar Elis tanpa sadar.
"Eh, apaan? Tadi lo bilang..." Kiran menyahut. Elis pun langsung kelabakan. Ia bingung sendiri atas apa yang barusan ia katakan. "Eh, maksud gue, elo Kiran. Iye, iye Kiran," ujar Elis.
Kiran pun langsung pergi menuju ke perpustakaan.
Elis melihat kepergian Kiran, dan merenung.
"Sumpah gue nggak bohong. Tadi sepintas gue ngeliat....Reana. Rere! Aduh apaan sih otak gue. Tapi, Kiran sama Rere kan...." ia berpikir, lalu terdiam lagi.
"Seandainya lo beneran ada disini, Re. Masih disini. Gue kangen sama lo." ujar Elis pelan. Memori akan sahabatnya itu pun berputar di kepalanya. Mendadak kelas terasa hening.
Dan siang itu, si bayangan merangkul Elis. Tersenyum, memberi semangat. Seperti yang biasa ia lakukan semasa hidupnya.
Comments
Post a Comment