Kalau angin berhembus,
Ia akan selalu mengantar jiwa,
Supaya jiwa itu bisa menyapa untuk terakhir kalinya,
Maka itu, jangan pernah kau tutup jendela itu.
Love you mom,
Reana.
Tante Erry memegang kartu ucapan itu. Kartu hari ibu, yang diberikan Reana tahun lalu. Tangannya gemetar. Di otaknya, sajak singkat itu selalu terngiang dan ia sudah hapal di luar kepala. Kartu itu agak lecek karena dilipat berulang-ulang oleh Tante Erry. Ia segera beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela lebar-lebar.
"Ini mama buka jendela. Mama sudah buka yang lebar. Mama pengen Reana menyapa mama. Mama kangen," ujar Erry seorang diri.
Angin pagi pun bertiup ke arahnya. Seolah-olah, angin itu menyapa Tante Erry.
Tangisan kecil pun kembali menyeruak. Dadanya sesak lagi. Tapi ia lebih memilih sesak, dibanding harus menghadapi kenyataan kalau tiap pagi, tidak ada lagi tawa Reana. Tante Erry pun tersungkur lemas di lantai.
Dia pikir dia akan pergi. Dia siap pergi bersama putrinya. Tapi, tangannya terasa dingin, seolah ada es yang menggenggamnya. Terdengar sayup suara di telinganya, sesaat sebelum ia tak sadar.
"Ma, bangun ma. Mama harus kuat. Rere bakal jaga mama!
Tante Erry pun tak sadarkan diri.
--
Semenjak kejadian "lupa bawa alat musik" minggu lalu, mendadak Elis, Angga, dan Kiran menjadi dekat. Seolah-olah mereka sudah berteman lama.
Saat istirahat, mereka bertiga pun ke kantin.
"Eh, gila! Tau gak, tadi ulangannya susah aja, loh. Gue udah belajar mati-matian, sampai bukunya gue balik, masih aja nggak bisa," ujar Elis.
"Ulangan apaan? Fisika?" tanya Angga.
Kiran mengangguk. Angga lalu tertawa.
"Yah, kalau Fisika pake aja logika dan doa," ujar Angga santai. Elis langsung sewot dan mencak-mencak. Sementara Kiran hanya tertawa.
Tiba-tiba handphone Elis berdering. Dari rumah Reana. Elis bingung, kenapa tiba-tiba ada telepon dari sana.
"Halo," ujar Elis.
"Neng, neng Elis!" jerit Bik Inah dari telepon. Mendengar suara Bik Inah yang panik, Elis jadi gelagapan.
"Bi, bi, kenapa Bi? Kok panik gini sih?" tanya Elis.
"Neng, tolong neng. Ini bibi baru aja dateng. Terus Nyonya Erry, neng, nyonyah...," ujar Bik Inah. Ia bicara cepat sekali.
"Tante kenapa, Bi?" tanya Elis.
"Tante ndak sadarin diri, neng. Tolong, neng. Badannya udah dingin banget. Ini bibi nggak ngerti," ujar Bik Inah. Elis terkejut.
"Aduh Bibi, ya udah deh saya ke sana sekarang, Bibi telpon ke Rumah Sakit Jayadinegara, ya. Ke 911 aja. 15 menit lagi saya sampe," ujar Elis.
Elis, Kiran, dan Angga pun langsung pergi ke Rumah Reana. Mereka lari ke ruang piket untuk meminta izin.
--
Sesampainya di rumah sakit, Tante Erry langsung dirawat di Unit Gawat Darurat.
"Permisi, mas dan mbak ini kerabat Nyonya Erryta?" tanya seorang perawat.
"Iya, suster. Kami ini teman-teman, anaknya, em, maksud kami almarhumah anaknya," ujar Elis. Mengucapkan kata almarhumah saja rasanya masih agak berat baginya, juga bagi Angga dan Kiran.
"Waduh, jadi Nyonya Erryta itu hidup seorang diri? Bisa kontak pihak yang sedarah, atau orang tua kalian yang mungkin sahabat Nyonya Erryta?" tanya suster.
"Loh, emang kenapa sama kita, sus?" tanya Elis.
"Nyonya Erryta itu parah keadaannya. Fungsi organnya banyak yang melemah. Maagnya kronis, dia butuh perawatan intensif. Dan persetujuan perawatan itu cuma bisa disetujui oleh kerabat dekat atau saudara yang cukup umur," ujar perawat itu menjelaskan.
Elis mendengus kesal. "Orang lagi sakit parah, masih aja di kasih urusan birokrasi macam gini!" dengusnya dalam hati.
Angga langsung ingat akan kedua orangtuanya. "Oh iya, sus, sebentar ya. Orang tua saya teman dekat Tante Erry, Saya bakal coba kontak mereka," ujar Angga, sembari ia merogoh kantong hpnya.
Suster itu segera kembali ke ruang perawatan. "Yang cepet ya, mas. Kondisinya cukup parah," ujar suster itu.
Kiran diam saja. Ia memang tidak terlalu mengenal Tante Erry. Ia merasa seperti memiliki mama kandung, Kiran sendiri hanyalah anak angkat. Banyak yang tidak tahu akan hal itu. Semenjak Tante Erry memeluknya di hari meninggalnya Reana, ia merasa seperti memiliki seorang ibu kandung.
"Please, Tuhan, jaga Tante Erry. Please banget," ujarnya lirih dalam hati.
--
"Angga, Elis, sama Kiran, kalian kalau mau pulang duluan nggak papa kok. Biar tante sama om yang jaga Erry. Angga, kamu anter mereka berdua ya," ujar Tante Grani.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Tampak raut lelah dari wajah ketiga anak SMA ini.
"Tante, makasih banyak ya. Kita pamit pulang dulu," ujar Elis. Tante Grani pun mengangguk, lalu tersenyum.
"Iya, kalau nggak ada kalian, Erry bisa lebih gawat lagi. Makasih ya, hati-hati,"ujar Tante Grani, sambil beranjak menuju kamar Tante Erry.
--
"Eh Angga, lo anterin gue duluan ya. Rumah Kiran kan searah tuh sama lo, yakan?" ujar Elis begitu mereka sampai di lobi rumah sakit.
Kiran mengangguk.
"Lo diem aja dari tadi, lo sakit?" tanya Angga. "Nggak kok, abis gue bingung mau ngomong apa,". Kiran bicara dengan nada polos. Elis tertawa. "Kiran, lo kadang pilon amat ya, haha. Yaudah deh, ayo cabut buruan, gue belom ngerjain pr," ujar Elis.
--
"Kiran, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Angga. Tinggal mereka berdua di mobil. Elis baru saja turun, sekitar lima menit yang lalu.
"Ah elu, udah gue bilang nggak apa-apa," ujar Kiran. Lalu keadaan pun kembali hening.
"Oh ya, lo di rumah ada nyokap sama bokap lo kan?" tanya Angga.
"Ehm, adanya tante gue, sih,". Kiran menjawab singkat, matanya masih lurus ke depan.
"Loh, bokap nyokap lo kemana?". "Gue anak adopsi,". Angga agak terkejut. Dia langsung diam.
"Angga, kok lo diem? Nggak kenapa-napa lagi," ujar Kiran sambil tersenyum. "Sorry, gue gak tau kalo..." ujar Angga.
"Iya, bokap nyokap gue, nggak tau gimana kabarnya. Gue diangkat sama mama gue yang sekarang, ya, tante gue itu. Mama gue sudah ngasih tau dari awal kalo gue anak angkat. Dia bilang gue bisa manggil dia mama atau tante. Tapi, gue sayang banget sama dia. Dia udah kayak mama gue sendiri. Pas liat Tante Erry tadi, gue berasa ngeliat nyokap kandung gue. Gue mikir, gimana kalau mama kandung lagi sakit kayak Tante Erry, atau lagi hidup susah, atau dia udah meninggal?" ujar Kiran, sambil menerawang.
"Bentar deh, Ran. Kok lo bisa-bisanya masih peduli sama orang yang notabene udah ngebuang lo?"
"Karena, bagaimanapun dia ibu gue, orang yang udah ngelahirin gue. Dan siapapun dia, kalaupun dia udah meninggal, dia bakal jadi, eh itu tuh, yang disitu, liat deh," Kiran bicara, dan tangannya menunjuk ke langit. Di langit ternyata penuh bintang yang beterbangan dimana-mana. Kunang-kunang.
Angga terdiam. Dia ingat apa yang dikatakan Kiran di "Taman Kunang-kunang", tempat mereka berdua.
"Kalau orang yang kita sayangi meninggal, mereka bakal jadi kunang-kunang,"
Rasanya seperti flashback ke malam itu. Sampai di rumah Kiran pun, Angga masih diam.
--
Mereka pun tiba di depan rumah Kiran.
"Eh, perlu gue anterin nggak ke dalem?" tanya Angga.
"Enggak lah, lagian nyokap paling udah tidur. Lo duluan aja," ujar Kiran.
"Ehm, yaudah, hati-hati ya, semoga besok lo nggak telat. Apa, besok pagi mau gue jemput?" tanya Angga.
Semburat merah tampak di pipi Kiran. Tapi untung Angga tidak terlalu menyadarinya.
"Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin. Thanks a lot yah, buat malem ini. Oh iya, jangan lupa ngedoain Tante Erry," ujar Kiran.
Angga tersenyum lalu melambaikan tangan.
Dan mobil vitara hitam itu pun melaju, menembus gelapnya malam.
--
"Thanks for keeping my mom, Kiran. And, I wish you know that your mom is in here, with me. Thanks for still loving her. And she loves you, always,"
Ia akan selalu mengantar jiwa,
Supaya jiwa itu bisa menyapa untuk terakhir kalinya,
Maka itu, jangan pernah kau tutup jendela itu.
Love you mom,
Reana.
Tante Erry memegang kartu ucapan itu. Kartu hari ibu, yang diberikan Reana tahun lalu. Tangannya gemetar. Di otaknya, sajak singkat itu selalu terngiang dan ia sudah hapal di luar kepala. Kartu itu agak lecek karena dilipat berulang-ulang oleh Tante Erry. Ia segera beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela lebar-lebar.
"Ini mama buka jendela. Mama sudah buka yang lebar. Mama pengen Reana menyapa mama. Mama kangen," ujar Erry seorang diri.
Angin pagi pun bertiup ke arahnya. Seolah-olah, angin itu menyapa Tante Erry.
Tangisan kecil pun kembali menyeruak. Dadanya sesak lagi. Tapi ia lebih memilih sesak, dibanding harus menghadapi kenyataan kalau tiap pagi, tidak ada lagi tawa Reana. Tante Erry pun tersungkur lemas di lantai.
Dia pikir dia akan pergi. Dia siap pergi bersama putrinya. Tapi, tangannya terasa dingin, seolah ada es yang menggenggamnya. Terdengar sayup suara di telinganya, sesaat sebelum ia tak sadar.
"Ma, bangun ma. Mama harus kuat. Rere bakal jaga mama!
Tante Erry pun tak sadarkan diri.
--
Semenjak kejadian "lupa bawa alat musik" minggu lalu, mendadak Elis, Angga, dan Kiran menjadi dekat. Seolah-olah mereka sudah berteman lama.
Saat istirahat, mereka bertiga pun ke kantin.
"Eh, gila! Tau gak, tadi ulangannya susah aja, loh. Gue udah belajar mati-matian, sampai bukunya gue balik, masih aja nggak bisa," ujar Elis.
"Ulangan apaan? Fisika?" tanya Angga.
Kiran mengangguk. Angga lalu tertawa.
"Yah, kalau Fisika pake aja logika dan doa," ujar Angga santai. Elis langsung sewot dan mencak-mencak. Sementara Kiran hanya tertawa.
Tiba-tiba handphone Elis berdering. Dari rumah Reana. Elis bingung, kenapa tiba-tiba ada telepon dari sana.
"Halo," ujar Elis.
"Neng, neng Elis!" jerit Bik Inah dari telepon. Mendengar suara Bik Inah yang panik, Elis jadi gelagapan.
"Bi, bi, kenapa Bi? Kok panik gini sih?" tanya Elis.
"Neng, tolong neng. Ini bibi baru aja dateng. Terus Nyonya Erry, neng, nyonyah...," ujar Bik Inah. Ia bicara cepat sekali.
"Tante kenapa, Bi?" tanya Elis.
"Tante ndak sadarin diri, neng. Tolong, neng. Badannya udah dingin banget. Ini bibi nggak ngerti," ujar Bik Inah. Elis terkejut.
"Aduh Bibi, ya udah deh saya ke sana sekarang, Bibi telpon ke Rumah Sakit Jayadinegara, ya. Ke 911 aja. 15 menit lagi saya sampe," ujar Elis.
Elis, Kiran, dan Angga pun langsung pergi ke Rumah Reana. Mereka lari ke ruang piket untuk meminta izin.
--
Sesampainya di rumah sakit, Tante Erry langsung dirawat di Unit Gawat Darurat.
"Permisi, mas dan mbak ini kerabat Nyonya Erryta?" tanya seorang perawat.
"Iya, suster. Kami ini teman-teman, anaknya, em, maksud kami almarhumah anaknya," ujar Elis. Mengucapkan kata almarhumah saja rasanya masih agak berat baginya, juga bagi Angga dan Kiran.
"Waduh, jadi Nyonya Erryta itu hidup seorang diri? Bisa kontak pihak yang sedarah, atau orang tua kalian yang mungkin sahabat Nyonya Erryta?" tanya suster.
"Loh, emang kenapa sama kita, sus?" tanya Elis.
"Nyonya Erryta itu parah keadaannya. Fungsi organnya banyak yang melemah. Maagnya kronis, dia butuh perawatan intensif. Dan persetujuan perawatan itu cuma bisa disetujui oleh kerabat dekat atau saudara yang cukup umur," ujar perawat itu menjelaskan.
Elis mendengus kesal. "Orang lagi sakit parah, masih aja di kasih urusan birokrasi macam gini!" dengusnya dalam hati.
Angga langsung ingat akan kedua orangtuanya. "Oh iya, sus, sebentar ya. Orang tua saya teman dekat Tante Erry, Saya bakal coba kontak mereka," ujar Angga, sembari ia merogoh kantong hpnya.
Suster itu segera kembali ke ruang perawatan. "Yang cepet ya, mas. Kondisinya cukup parah," ujar suster itu.
Kiran diam saja. Ia memang tidak terlalu mengenal Tante Erry. Ia merasa seperti memiliki mama kandung, Kiran sendiri hanyalah anak angkat. Banyak yang tidak tahu akan hal itu. Semenjak Tante Erry memeluknya di hari meninggalnya Reana, ia merasa seperti memiliki seorang ibu kandung.
"Please, Tuhan, jaga Tante Erry. Please banget," ujarnya lirih dalam hati.
--
"Angga, Elis, sama Kiran, kalian kalau mau pulang duluan nggak papa kok. Biar tante sama om yang jaga Erry. Angga, kamu anter mereka berdua ya," ujar Tante Grani.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Tampak raut lelah dari wajah ketiga anak SMA ini.
"Tante, makasih banyak ya. Kita pamit pulang dulu," ujar Elis. Tante Grani pun mengangguk, lalu tersenyum.
"Iya, kalau nggak ada kalian, Erry bisa lebih gawat lagi. Makasih ya, hati-hati,"ujar Tante Grani, sambil beranjak menuju kamar Tante Erry.
--
"Eh Angga, lo anterin gue duluan ya. Rumah Kiran kan searah tuh sama lo, yakan?" ujar Elis begitu mereka sampai di lobi rumah sakit.
Kiran mengangguk.
"Lo diem aja dari tadi, lo sakit?" tanya Angga. "Nggak kok, abis gue bingung mau ngomong apa,". Kiran bicara dengan nada polos. Elis tertawa. "Kiran, lo kadang pilon amat ya, haha. Yaudah deh, ayo cabut buruan, gue belom ngerjain pr," ujar Elis.
--
"Kiran, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Angga. Tinggal mereka berdua di mobil. Elis baru saja turun, sekitar lima menit yang lalu.
"Ah elu, udah gue bilang nggak apa-apa," ujar Kiran. Lalu keadaan pun kembali hening.
"Oh ya, lo di rumah ada nyokap sama bokap lo kan?" tanya Angga.
"Ehm, adanya tante gue, sih,". Kiran menjawab singkat, matanya masih lurus ke depan.
"Loh, bokap nyokap lo kemana?". "Gue anak adopsi,". Angga agak terkejut. Dia langsung diam.
"Angga, kok lo diem? Nggak kenapa-napa lagi," ujar Kiran sambil tersenyum. "Sorry, gue gak tau kalo..." ujar Angga.
"Iya, bokap nyokap gue, nggak tau gimana kabarnya. Gue diangkat sama mama gue yang sekarang, ya, tante gue itu. Mama gue sudah ngasih tau dari awal kalo gue anak angkat. Dia bilang gue bisa manggil dia mama atau tante. Tapi, gue sayang banget sama dia. Dia udah kayak mama gue sendiri. Pas liat Tante Erry tadi, gue berasa ngeliat nyokap kandung gue. Gue mikir, gimana kalau mama kandung lagi sakit kayak Tante Erry, atau lagi hidup susah, atau dia udah meninggal?" ujar Kiran, sambil menerawang.
"Bentar deh, Ran. Kok lo bisa-bisanya masih peduli sama orang yang notabene udah ngebuang lo?"
"Karena, bagaimanapun dia ibu gue, orang yang udah ngelahirin gue. Dan siapapun dia, kalaupun dia udah meninggal, dia bakal jadi, eh itu tuh, yang disitu, liat deh," Kiran bicara, dan tangannya menunjuk ke langit. Di langit ternyata penuh bintang yang beterbangan dimana-mana. Kunang-kunang.
Angga terdiam. Dia ingat apa yang dikatakan Kiran di "Taman Kunang-kunang", tempat mereka berdua.
"Kalau orang yang kita sayangi meninggal, mereka bakal jadi kunang-kunang,"
Rasanya seperti flashback ke malam itu. Sampai di rumah Kiran pun, Angga masih diam.
--
Mereka pun tiba di depan rumah Kiran.
"Eh, perlu gue anterin nggak ke dalem?" tanya Angga.
"Enggak lah, lagian nyokap paling udah tidur. Lo duluan aja," ujar Kiran.
"Ehm, yaudah, hati-hati ya, semoga besok lo nggak telat. Apa, besok pagi mau gue jemput?" tanya Angga.
Semburat merah tampak di pipi Kiran. Tapi untung Angga tidak terlalu menyadarinya.
"Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin. Thanks a lot yah, buat malem ini. Oh iya, jangan lupa ngedoain Tante Erry," ujar Kiran.
Angga tersenyum lalu melambaikan tangan.
Dan mobil vitara hitam itu pun melaju, menembus gelapnya malam.
--
"Thanks for keeping my mom, Kiran. And, I wish you know that your mom is in here, with me. Thanks for still loving her. And she loves you, always,"
Comments
Post a Comment