"Mer, menurut lo gue seaneh apa?" Jana bertanya pada Merlin, sobatnya.
Merlin yang sedang sibuk merapikan kamarnya, hanya menghela napas, lalu tersenyum geli.
"Kalau aneh, mah...IYA ANEH BANGET, hahahaha," Merlin menekankan ketiga kata itu, terkekeh mendengar pertanyaan spontan Jana.
"Yah, terus gimana dong?" Jana memelas, baik nada suara sampai raut wajah. Merlin lagi-lagi terkekeh, tapi yang ini lebih frontal lagi.
"Ya, berarti lo emang terlahir seperti itu. Lo emang aneh, beda dari cewek kebanyakan. Dan lo beruntung gue jadi sobat lo. Karena menurut penelitian, dari milyaran manusia di muka bumi, cuma beberapa puluh yang bisa mengerti dan paham betul sama tabiat orang aneh," Merlin berlagak serius, tapi tawanya pelan dan pasti.
Jana cuma tertawa, lalu mengarahkan matanya ke jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari menyeruak ke dalam kamar Mer yang super rapi itu. Dan matanya pun mulai menelusuri jejak spektrum yang samar-samar dilihatnya.
"Mer, liat deh, sinar matahari pagi ini bagus banget," Jana kembali bersikap "spontan" alias aneh, kembali antusias pada hal-hal kecil. "Baru dibilangin aneh, eh udah kejadian lagi", Mer berkata dalam hati dan hanya geleng kepala.
"Stress lo yak? Daripada ngeliatin matahari mending bantuin rapiin kamar gue," Mer berharap Jana nurut. Tapi gadis dengan rambut sebahu itu menolak. Ia menelusuri berkas sinar matahari yang membias, membentuk sedikit spektrum.
"Matahari itu hebat tau, Mer. Dari dulu gue selalu kagum sama matahari," Jana tersenyum lebar. Merlin yang sibuk mencari sendalnya yang terselip di kolong tempat tidur, langsung mengarahkan matanya pada Jana.
"Hah? Sejak kapan lu kagum sama matahari?". Jana hanya tersenyum.
"Sejak lima menit yang lalu, hehehe", Jana hanya terkekeh. Merlin dengan mantap melempar bantal ke arah kepala Jana, berharap agar otaknya bergeser ke posisi awal.
"Udah ah, daripada makin ngaco, abis ini lo temenin gue ke toko buku, ya. Gue musti beli buku buat ujian minggu depan. Pokoknya, kalo gue nanti udah selese mandi dan jiwa lo masih belom ngumpul, gue tinggal!" Merlin mengultimatum. Jana hanya melempar senyum, ke arah matahari yang juga tertawa ke arahnya.
--
"Bor, panas bener boooor," seorang pemuda bernama Maja sibuk mengipas-ngipas, menahan gerah dari sinar mentari pagi sembari tangan satunya memegangi gitar antik warisan dari papanya.
Matanya menyipit ke sosok pemuda lainnya, yang asyik tiduran sambil membaca novel. "Ah, kayak cewek lo, nggak ada badai, nggak ada banjir, ujug-ujug baca novel," Maja menyenggol kaki temannya itu dengan gitar.
Akhirnya pemuda itu mulai bersuara setelah hampir dua puluh menit matanya terfokus pada buku dua ratus halaman di tangannya. "Rumusan darimana coba? Daripada main gitar gak jelas," Ia mendengus.
"Yaelah, mas ganteng sang pujangga satu ini galak bener. Becanda bro," Maja tertawa menanggapi temannya yang sensitif itu. Pemuda itu tersenyum. "Ya makanya, berkaca sebelum berkata itu hukumnya mutlak,".
Maja tersenyum masam. "Iye Sur iye, muka gue emang kebanting banget sama lo, gue udah cukup lemes ngeliat muka gue, Sur. Cukup, Sur, cukup," Maja berdialog ala sinetron.
"Eh, Ja, siang ini kita jalan aja, daripada mendem nggak jelas kayak gini," Surya meregangkan badannya, dan terdengar bunyi "kretek-kretek" dari tubuh kurusnya. Mata Maja langsung berbinar-binar. "Gue ada ide, jalan ke mall aja, yok! Ngadem! Tapi kita makan dulu di warung. Tancaaaap," Maja langsung melompat keluar kamar dan menyambar handuk. Surya hanya geleng-geleng, melihat sobatnya, yang hanya satu di dunia.
--
(bersambung)
Merlin yang sedang sibuk merapikan kamarnya, hanya menghela napas, lalu tersenyum geli.
"Kalau aneh, mah...IYA ANEH BANGET, hahahaha," Merlin menekankan ketiga kata itu, terkekeh mendengar pertanyaan spontan Jana.
"Yah, terus gimana dong?" Jana memelas, baik nada suara sampai raut wajah. Merlin lagi-lagi terkekeh, tapi yang ini lebih frontal lagi.
"Ya, berarti lo emang terlahir seperti itu. Lo emang aneh, beda dari cewek kebanyakan. Dan lo beruntung gue jadi sobat lo. Karena menurut penelitian, dari milyaran manusia di muka bumi, cuma beberapa puluh yang bisa mengerti dan paham betul sama tabiat orang aneh," Merlin berlagak serius, tapi tawanya pelan dan pasti.
Jana cuma tertawa, lalu mengarahkan matanya ke jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari menyeruak ke dalam kamar Mer yang super rapi itu. Dan matanya pun mulai menelusuri jejak spektrum yang samar-samar dilihatnya.
"Mer, liat deh, sinar matahari pagi ini bagus banget," Jana kembali bersikap "spontan" alias aneh, kembali antusias pada hal-hal kecil. "Baru dibilangin aneh, eh udah kejadian lagi", Mer berkata dalam hati dan hanya geleng kepala.
"Stress lo yak? Daripada ngeliatin matahari mending bantuin rapiin kamar gue," Mer berharap Jana nurut. Tapi gadis dengan rambut sebahu itu menolak. Ia menelusuri berkas sinar matahari yang membias, membentuk sedikit spektrum.
"Matahari itu hebat tau, Mer. Dari dulu gue selalu kagum sama matahari," Jana tersenyum lebar. Merlin yang sibuk mencari sendalnya yang terselip di kolong tempat tidur, langsung mengarahkan matanya pada Jana.
"Hah? Sejak kapan lu kagum sama matahari?". Jana hanya tersenyum.
"Sejak lima menit yang lalu, hehehe", Jana hanya terkekeh. Merlin dengan mantap melempar bantal ke arah kepala Jana, berharap agar otaknya bergeser ke posisi awal.
"Udah ah, daripada makin ngaco, abis ini lo temenin gue ke toko buku, ya. Gue musti beli buku buat ujian minggu depan. Pokoknya, kalo gue nanti udah selese mandi dan jiwa lo masih belom ngumpul, gue tinggal!" Merlin mengultimatum. Jana hanya melempar senyum, ke arah matahari yang juga tertawa ke arahnya.
--
"Bor, panas bener boooor," seorang pemuda bernama Maja sibuk mengipas-ngipas, menahan gerah dari sinar mentari pagi sembari tangan satunya memegangi gitar antik warisan dari papanya.
Matanya menyipit ke sosok pemuda lainnya, yang asyik tiduran sambil membaca novel. "Ah, kayak cewek lo, nggak ada badai, nggak ada banjir, ujug-ujug baca novel," Maja menyenggol kaki temannya itu dengan gitar.
Akhirnya pemuda itu mulai bersuara setelah hampir dua puluh menit matanya terfokus pada buku dua ratus halaman di tangannya. "Rumusan darimana coba? Daripada main gitar gak jelas," Ia mendengus.
"Yaelah, mas ganteng sang pujangga satu ini galak bener. Becanda bro," Maja tertawa menanggapi temannya yang sensitif itu. Pemuda itu tersenyum. "Ya makanya, berkaca sebelum berkata itu hukumnya mutlak,".
Maja tersenyum masam. "Iye Sur iye, muka gue emang kebanting banget sama lo, gue udah cukup lemes ngeliat muka gue, Sur. Cukup, Sur, cukup," Maja berdialog ala sinetron.
"Eh, Ja, siang ini kita jalan aja, daripada mendem nggak jelas kayak gini," Surya meregangkan badannya, dan terdengar bunyi "kretek-kretek" dari tubuh kurusnya. Mata Maja langsung berbinar-binar. "Gue ada ide, jalan ke mall aja, yok! Ngadem! Tapi kita makan dulu di warung. Tancaaaap," Maja langsung melompat keluar kamar dan menyambar handuk. Surya hanya geleng-geleng, melihat sobatnya, yang hanya satu di dunia.
--
(bersambung)
Comments
Post a Comment