I am posting in less
than 24 hours. It’s good right? Same like when you try to plant some plants and
so you need them to give some water and fertilizers. So here I am trying to
post as much as I can do, I try to fertilize this blog again
Enough with the
chit-chat
Halo semua, hari ini Minggu 10 Juli. Ya, sekedar
mengingatkan kalau sekarang H-2 kembali ke Semarang. When holiday ends, I feel bad inside. Bukan karena saya benci di
Semarang. I love Semarang actually.
Nggak tau kenapa, tapi ada sesuatu di kota itu yang sebenernya saya lebih prefer tinggal di sana. 
Saya benci pisah lagi sama Mami saya, sama Mbak saya, sama
Bude, Adul dan lainnya.
Cemen, right?
Jadi, topik kali ini, tentang perpisahan. Berpisah tidak selamanya
buruk. Berpisah dari mata kuliah yang terkenal sulit and we passed it, berpisah sama orang yang nyebelinnya setengah
mati, dan berpisah dengan yang lainnya.
But mostly, goodbye is
all about losing something. Back to sadness.
Saya sudah berpisah sama Papo saya, He’s passing away since three years ago. Kadang sedih, kangen, tapi
di agama Katholik (mungkin agama lainnya juga, saya kurang tahu), atau di
kultural setempat bilang bahwa selayaknya mereka yang telah meninggal, harus
didoakan. Tetap didoakan, agar senantiasa mendapat tempat dan tenang di surga
di sisi Allah Bapa untuk kekal selamanya. Bukan ditangisi dan disesali. Tapi
yang namanya ditinggal, siapa sih yang nggak sedih unless emang batu atau ada kelainan psikis. Jadi ya, berpisah
dengan orang yang kita sayangi is a
bitter thing that we have to face it everyday that my dad, passed away. I
believe he always be with me. Why? Because I believe and my faith (again, in
Catholic) believe that living in this beloved earth is just a temporary. We
live here, then we die. But God won’t let us falling into –what we usually
called- hell, the darkest place. But we will pass the holy fire to make us
eligible to enter heaven. So, our truly life is actually up there, in
Heaven. So, my conclusion is my dad (I believe) already lived up there, and
enjoying to watch us beside Jesus Christ.
Berpisah dengan yang kita sayangi membawa saya ke fase
trauma untuk takut merasa kehilangan lagi. Betapa parnonya tahu kalau Mbak
Dhita sempat jatuh dan kepalanya terbentur, atau Mami yang begadang bahkan
nggak tidur gara-gara pindahan kantor. I
mean, she’s old enough dan saya belajar tentang fungsional tubuh yang tidak
sepatutnya diberi tekanan semacam itu. Saya parno banget, jujur. Takut. Bahkan
berharap, kalau sudah tiba saatnya, biarlah saya yang menghadapi maut duluan,
bukan mereka. Saya juga mau ikutan sama Bapak saya nontonin keluarga dari atas
sana.
Hei, saya bukan mau bunuh diri. Itu Cuma sekelibat pemikiran
kalau sudah membicarakan tentang kematian, suatu perpisahan kekal bagi kita
manusia yang masih hidup di bumi ini.
Dan sekarang, saya sudah harus berpisah lagi dari rumah
menuju ke rumah kedua. Yang saya males, hmm.. Mungkin masih harus mengerjakan
revisi, atau harus meremedi semua nilai yang mau saya kejar (Say I am ambitious. But that cum laude thing
is the best I could achieve now. Mungkin membebani, tapi seenggaknya itu
target saya. Sah kan kalau punya target, hehe à
this is as the target to give back half
of the “old” me, based on the previous post), masih harus nyelesein
macem-macem, siapin pergi ke Malang, dan lain sebagainya.
Tapi, berpisah dengan satu elemen, berarti kita akan menuju
ke elemen yang lain. Semacam berbagai reaksi dalam tubuh kita, ketika suatu
unit yang kompleks akan mengalami proses katabolisme, dan unit sederhana yang
terpisah akan bergabung lagi dan tercipta suatu proses anabolisme. Suatu
pembentukan unit yang baru lagi. Cuma bedanya, berbagai kisah dan memoar di
hidup kita tidak bisa sestatis metabolisme dalam tubuh.
Dan kalau saya tidak menginjakkan kaki ke dunia baru, gimana
saya mau berkarya lebih baik. Gimana saya mau keliling ke luar kalau keluar
dari rumah keong aja nggak mau?
Di Semarang, I met
people that changing me. Baik atau buruk, mereka memberi dampak dan jadi
bagian dalam cerita saya. Mereka menjadi saudara, teman, sahabat, sayangnya
pacar belom. Di sanalah saya berani bilang kalau Semarang adalah rumah kedua.
Tuhan itu baik, pasti. Dan memang iya. Nggak pernah salah menempatkan
anak-anakNya walau di jalan terjal sekalipun.
Sambil menulis ini, saya jadi merefleksikan bahwa, changing is good. Goodbye is sometimes good.
Toh masih ada dua minggu ke depan dan saya masih bisa pulang lagi ke rumah.
Masih bisa jalan-jalan ke Malang (doain ya, semoga Temilnas menang), dan lain
sebagainya. 
One goodbye will cause
some broken heart.
One goodbye will give
some tears.
But one goodbye will
open the other door.
Every goodbye
sometimes gives pain. 
But no pain, no gain.
With enormous love
from Depok,
s.
Comments
Post a Comment