Sebagai anak rantau, pastilah akrab dengan kedua gerbang ini. Entah naik kereta maupun pesawat, selalu ada dua jalur yang memisahkan antara keberangkatan dan kedatangan.
Dulu, waktu masih awal-awal kuliah, tempat favorit saya adalah gerbang keberangkatan dari Semarang dan gerbang kedatangan di Jakarta. Entah saat naik kereta, atau naik pesawat. Membayangkan nanti di rumah akan bertemu dengan orang-orang yang kita rindukan, dengan sanak keluarga, teman, dan lainnya.
Biasanya, saya memandang dari sudut sebagai seorang penumpang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Hari ini, saya memandang dari sisi penjemput, yang menunggu di kedatangan.
Siang ini, ibu saya bersama om dan kedua tante saya datang dari Jakarta. Keluarga kami mau nyekar ke Salatiga, ke makam eyang kakung, eyang putri, Bude Lien, Tante Ita, dan kerabat lainnya. Setiap mau ke Jakarta, memang landingnya pasti di Stasiun Tawang. (PS : Stasiun ini merupakan tempat saya mengenang banyak hal sama almarhum Bapak. Pertama kali ke Semarang juga ditemani Bapak naik kereta :) ). Dan kebetulan, karena saya juga lumayan santai, ibu saya bilang baiknya ketemuan dulu sebelum besok setelah stase saya baru nyusul ke Salatiga. Jadi kita makan siang dulu karena Om saya pengen nyobain mangut kepala munyun Bu Fat.
Kedatangan terjadwal pukul 15.00 di Stasiun Tawang. Saya berangkat dari kost dengan Gojek sekitar 14.45. Mepet banget. Tapi ternyata saya sampai Stasiun Tawang pun, kereta ibu saya masih di Stasiun Poncol. Jadi syuukurlah, saya bisa nunggu dulu di gerbang Kedatangan.
Dan ini pertama kalinya sih, saya ngerasain jadi penjemput.
Awalnya biasa saja. Saya dan orang-orang di sekitar saya, matanya memandang lurus ke arah gerbang, sambil telinga ini juga awas mendengarkan suara pengumuman dari petugas bahwa kereta yang ditumpangi sanak saudara kami semua sudah sampai mana.
Ada ibu-ibu, ada juga pemuda, ada juga sekeluarga besar, menunggu di gerbang kedatangan.
Lalu pengumuman dari petugas bahwa kereta yang ditunggu akhirnya tiba. Langsung semua mata tertuju ke pintu kedatangan, mencari sosok yang dinanti sejak 10 menit lalu, 30 menit lalu, atau 1 jam yang lalu.
Ketika para penumpang turun, saya lihat senyum merekah di antara para penjemput tadi. Ada yang langsung meluk, ada yang langsung cipika-cipiki. Dan saya dapati diri saya pun berlaku demikian karena jujur saya kangen banget sama Ibu saya, om dan tante saya.
Ternyata ini toh rasanya nunggu dan temu kangen. Sesimpel itu. Kebahagiaan bisa ditemukan, bahkan di gerbang kedatangan. Karena di gerbang kedatangan, kita mengatakan "halo!" dan di gerbang keberangkatan kita harus mengucapkan "bye! sampai ketemu lagi"
Gerbang kedatangan dan keberangkatan, keduanya adalah jalur yang berbeda. Sengaja dibedakan. Hawanya pun berbeda. Kadang di keberangkatan kita menangis, kadang juga, melihat sosok yang kita sayangi pergi dan menghilang di balik gerbang, rasanya sudah rindu saja. Pengen seperti Cinta yang ngejar Rangga sampe sebelum boarding.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana kamu menunggu di gerbang kedatangan, dan menyambut yang kamu sayangi lewat senyuman.
Tingling with excitement when we're arriving.
ReplyDeleteTingling with sadness when we're departing.
Or is it the other way around?
Menjadi anak rantau membuat kita lebih menghargai momen kecil di gerbang kedatangan dan keberangkatan.. to say hello or to say goodbye.
Maaf, rambling di kolom komentar.
Keep up the good work, Stell.
ah terima kasih, untuk saudara/i yang kasih komentar di atas. doakan saya untuk terus menulis yaa :)
Delete