Sekarang sharing serius.
Selamat datang di usia 23 tahun. Boleh dibilang muda, boleh dibilang tua. Boleh dibilang setengah-setengah.
Di usia 23 ini, saya menyadari bahwa menjadi dewasa itu penting. Dewasa secara pola pikirnya, tata bicara, mulai merancang masa depan, mulai menabung, dan banyak hal lainnya. Hal-hal yang namanya planning this and that yang amat saya takuti, pada akhirnya harus saya hadapi.
Salah satu kedewasaan, yang belum saya upayakan, adalah kedewasaan iman. Saya terlahir di keluarga katholik. Keluarga ibu saya semuanya katholik, tapi keluarga ayah saya mayoritas muslim, tapi ada pula yang kristen, katholik. Jadi, keberagaman itu sudah saya rasakan sejak kecil dan bukan hal yang aneh buat saya.
Waktu SMA pun saya sekolah di SMA Negeri, di mana saya menjadi minoritas. Itupun malah membuat saya belajar, betapa toleransi adalah hal yang indah. Sampai sekarang, saya senang dikelilingi oleh teman-teman dari berbagai suku dan agama. Dari situ, saya menerapkan hal-hal baik dari agama masing-masing, dan saya coba terapkan untuk menjadi manusia yang mudah-mudahan bisa lebih baik lagi.
Saya, katholik. Tapi, apakah saya pantas? Kalau saya sering berdoa..tapi tidak dengan hati.
Kekeringan iman ini saya rasakan, ketika saya lupa..saya sedang masa senang, saya lupa sama Tuhan. Saya berdoa untuk meminta, memohon, dan mengeluh.
Lupa kalau apa yang didapat saat ini sudah jauh lebih banyak, jauh lebih indah. Tapi, saya abaikan panggilan hati untuk berdoa dan tenggelam dalam dunia youtube, film, musik, dan lainnya.
Sampai tiba saatnya, saya merasa..ini salah. Salah rasanya. Ini Tuhan lho. Bukan bapak/ibu yang semena-mena bisa dimintakan tolong. Ternyata..hati saya kosong. Iya kosong. Saya tidak merasakan sukacita, tidak merasa bahagia. Tidak bersyukur, dan tidak mau menerima apa adanya.
Di titik itu, saya lelah. Saya nggak mungkin hidup seperti ini. Di usia 23, seenggaknya saya harus lebih belajar, bahwa beribadah, berdoa, berbicara dengan Tuhan, nggak gitu caranya.
Suatu ketika romo pernah berkotbah "kita boleh tidak pandai dalam agama kita, maka kita didorong untuk lebih mengenal iman kita. tapi, kita harus belajar untuk mencintai, membuka diri, pada agama kita. Katholik selalu mengajarkan untuk bersyukur, cinta kasih, damai. Agar kelak, kita pun bangga, dan senantiasa teguh pada iman, dan menjaga agar cinta kasih serta damai tetap ada di tengah perkembangan zaman ini"
Sial. Aku kemana aja. Aku baru menyadari, Tuhan menjawab doa kita, dan meladeni kita dengan cara yang ajaib. Tuhan itu pasti dengar. Karena Ia adalah Tuhan, yang selamanya selalu menganggap kita adalah anak-anakNya. Dan selalu mengasihi kita. Tapi, aku belum mengasihi Tuhanku. Aku belum bersyukur dan membuka diri. Makanya di hati ini adanya kesel, marah, dan sedih.
Tadi pagi saya sedih, merasa bahwa apakah saya sendirian? Hingga akhirnya, saya coba berdoa, melepaskan diri, berserah diri.
Dan Puji Tuhan, rasanya damai.
Damai sekali. Mungkin ini rasanya ketika seseorang beribadah ke Pura, atau beribadah di Vihara, atau sholat 5 waktu dan membaca Al-Quran.
Saya senang sekali, bisa berbagi cerita. Sejatinya, saya bukanlah ahli agama. Saya tidak bisa mengajarkan secara teori, jadi apa yang saya dapat, saya olah dalam diri saya dulu. Tapi paling tidak, apapun agamamu, kapanpun dan dimanapun kamu berada, percayalah, bahwa di saat kamu merasa sedih tanpa sebab, dan merasa bahwa hidupmu hampa, dan imanmu kosong, berdoalah. Tenanglah. Tuhan pasti akan segera memelukmu dengan KasihNya.
Damai untuk kita semua,
Berkah Dalem
(ditulis di sore hari yang sendu, namun penuh sukacita)
-s
Comments
Post a Comment