Sebelum memulai postingan ini, izinkan saya menyampaikan selamat merayakan lebaran untuk teman-teman semua! selamat mudik, selamat berlibur, dan tak lupa mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan baik pikiran, perbuatan, perkataan yang saya buat hehe.
anyway..
Memori..
Ya, memori. Ingatan, kenangan, akan sesuatu hal. Saya bersyukur masih boleh mengingat banyak hal yang dulu-dulu saya masih TK, atau ketika saya beranjak dewasa. Mulai dari yang menyenangkan sampai menyedihkan.
Bicara tentang memori, identik dengan kembali ke masa kecil atau peristiwa penting yang terjadi di hidup kita.
Memori saya waktu kecil, saya ingat saya pernah diceburin ke kolam ikan. Yang saya ingat waktu itu hanya basah, gelap, dan buih, serta bau amis dan licinnya lumut. 
Atau ketika pertama kali saya maju ke kelas karena guru saya menanyakan "siapa yang bisa gambar angka 5?", dan tiba-tiba di otak saya tergambar angka 5 dengan sempurna, lalu saya maju, menuruti apa kata otak saya tentang memori gambaran angka 5. Lalu saya merasa sejak saat itu saya merasa angka keberuntungan saya adalah 5. Aneh.
Memori yang saya ingat lainnya adalah ketika saya pertama kali dioperasi karena radang usus buntu, dan saya ingat ketika saya pertama kali kuliah, ingat saat lulus SMP, dan lainnya.
Memori yang saya rasakan selalu melekat adalah ketika saya ditinggalkan oleh ayah saya. Beliau berpulang dalam tidurnya. Dulu waktu di stase psikiatri, orang mengatakan kehilangan orang yang amat sangat dicintai, kehilangan anggota keluarga, memiliki dampak yang hampir sama besarnya dengan orang-orang yang terkena musibah bencana alam seperti tsunami, gunung api, dan gempa bumi. Trauma, dan sedih. Itu yang kami rasakan.
Tapi kesedihan itu saya bawa ke dalam perubahan mindset. Ayah saya pasti, lebih hidup dari biasanya. Beliau hidup, di hati saya. Entah benar atau tidak, tapi saya meyakini hal itu supaya saya tetap merasa utuh.
Setiap saya ke Stasiun Tawang, saya selalu ingat beliau. Beliau yang mengantar saya pertama kali ke semarang dengan kereta. Bolak-balik Jakarta Semarang dengan kereta Argo Muria. Jam yang menurut beliau paling strategis. Kemudian saat perjalanan terakhir bersama ayah saya, di Stasiun Cirebon beliau mengajak saya untuk turun sebentar sekedar meregangkan kaki sebentar. Seringkali setiap pulang naik kereta, saya menunggu melewati stasiun Cirebon dahulu baru saya tidur, mencoba mereka ulang adegan seandainya saya pulang dengan ayah saya.
Selain itu, saya jadi teringat tentang berbagai pasien di rumah sakit tempat saya menjadi koas. Ada banyak sekali pasien, yang tentunya tidak bisa kita ingat satu-satu. Tapi ada beberapa pasien yang kita ingat karena mungkin pasiennya lucu, atau pasiennya baik, suka ngajak ngobrol saat kita jaga bangsal, dan lain sebagainya. Pernah ada pasien yang diabetes mellitus, tapi diem-diem masih ngemilin permen karena suka banget sama permen.
Atau pasien anak-anak, yang mungkin sudah seringkali menjalani terapi (semisal mereka yang mengalami keganasan darah seperti ALL atau AML, berulang kali ke rumah sakit dan punya memori buruk terhadap proses kemo dan sebagainya), tentunya takut dengan dokter residen ataupun koas yang memakai jas putih. Kadang waktu jaga, saya sengaja membawa midline (meteran) yang bentuknya panda atau membawa penlight dan oksimeter supaya mereka mainan dulu, melupakan memori sejenak kalau harus diperiksa.
Ya, kita mencoba mengalihkan perhatian agar lupa sejenak terhadap memori itu.
Orang dewasa pun berperilaku demikian.
Yang lebih bikin terharu, kalau mereka yang ingat kita sebagai dokternya (amin ya Tuhan, semoga segera menjadi dokter). Suatu ketika di IGD waktu saya jadi koas bedah, ada seorang pasien yang memanggil saya, minta diperiksa perbannya. Saya cek sebentar, lalu si Mbak ini bisik-bisik ke ibunya lalu senyam-senyum. Saya bingung kan, karena jangan-jangan ilmu sotoy saya terungkap nih. Ternyata ibunya bilang "Mbak, mbak kan dokter muda yang dulu pernah nensi anak saya di (bangsal) rajawali sana." Terus saya tanya "Wah iya bu?" "Iya, waktu itu anak saya pasien saraf mbak, jadi mbak kelilingan waktu itu ngecekin pasien-pasien saraf, dua bulan lalu.". Seketika itu juga saya seneng banget. Padahal saya cuma ngecek keadaan umum dan tanda vital, tapi beliau ingat saya yang periksa. Yaa nggak kaget karena wujud saya besar dan keriting -.-, tapi seneng aja. Saya menjadi bagian dari memori pasien tersebut, dan pengalaman ini jadi memori tersendiri buat saya. "Diingat pasien" adalah kebahagiaan tersendiri untuk.seorang dokter. Apalagi dokter muda macam saya :") aseli, rasanya capek hilang seketika.
Ada banyak memori, sejak saya tinggal di Depok sampai saya di Semarang. Setiap tulisan disini, semuanya adalah memori yang saya rangkai pelan-pelan lewat tulisan, karena saya ingin bercerita..
Yang ingin saya ceritakan disini, adalah bahwa memori membentuk kita. Menjadikan kita seperti sekarang ini. Menjadikan kita rapuh atau semakin kuat, menjadi lebih peka atau lebih acuh, tergantung dari memori tersebut. Kadang sakit rasanya bila harus pulang dan mengingat semuanya, waktu-waktu menyedihkan. Tapi, senang juga karena bisa mengingat memori sewaktu kami masih berempat. Begitupun di Semarang. Saya suka hidup disana. Karena di Semarang, saya memupuk memori suka dan duka, terutama dalam setiap proses pembelajaran. Saya nangis, saya tertawa. Semua karena memori ketika saya mengingatnya lagi.
Memori itu indah, dan kadang memori yang menyakitkan, rasanya kita ingin lupakan begitu saja. Tapi, setiap saya mengingat yang sedih, saya jadi ingat adegan di film kartun Inside Out. Awalnya, kita pikir hidup hanya dengan memori yang menyenangkan adalah suatu anugerah (ya, bener sih). Tapi kita kadang butuh kesedihan. Untuk mengingat, hidup tak selamanya di atas, tak selamanya untuk tertawa. Kesedihan kita, mungkin akan mendekatkan kita, kepada Tuhan, sesama, dan tentunya, semakin mendekatkan kita dengan diri kita sendiri. Bahwa kita lemah, kita tak sempurna, dan pernah melakukan kesalahan. Lalu ketika kita senang, kita tak boleh lupa bahwa kesenangan itu kita dapatkan dari kesedihan sebelumnya, dan terus-menerus begitu sampai akhirnya kita terus-menerus bertambah usia dan semakin dewasa untuk menyingkapinya.
Memori, akan selalu ada. Memori membentuk kita. Memori, selamanya terputar di benak kita.
-S
(ditulis ketika keluar dari toko buku dan entah kenapa kepikiran berbagai memori yang terputar dari seharian ini)
Comments
Post a Comment