Skip to main content

(calon) Dokter Pencerita : Bu Suti dan Ca Mammae 10 Tahun


“Dok, ayo ceritakan sesuatu kepada saya,” ujar Bu Sarmini kepada seorang dokter muda yang sedang memeriksanya. Dokter muda bernama Andria itu, agak terkejut mendengar permintaan pasiennya.

“Lho, ibu mau cerita tentang apa? Kok tumben bu?” Andria kaget, lalu tersenyum. Agak bingung tapi juga merasa lucu. Baru kali ini, ada pasien yang minta cerita darinya. Mengingat semua memori, imajinasi, semuanya ia simpan di otaknya.

“Saya ini sedih, Mbak..sopo jenenge Mbak Dokter?” tanya Bu Sarmini.

“Nama saya Andria, Bu. Kalau ibu susah manggil nama saya, manggil mbak dokter mboten nopo-nopo, Bu,” jawab Andria. Paham kalau sering orang salah memanggil namanya. Jadi Andra, Anria, Andri, atau apalah. Dia punya kamus daftar “salah-sebut-nama-Andria”.

“Hmm, ibu sedih kenapa?” Andria menarik kursi kosong, lalu duduk di samping tempat tidur Bu Sarmini. 

“Mbak dokter, kulo habis periksa tadi sama dokter bedah. Katanya saya ini kena kanker. Tapi masih bisa dioperasi, kata Pak Dokter tadi yang ngunjungi. Saya takut, Mbak. Saya masih punya anak-anak, masih pingin lihat anak-anak hidup sukses, Mbak Dokter,” ujar Bu Sarmini. Wajahnya merengut, sedih.

Andria berpikir sebentar. Lalu, ia menghela napas. Ia paham, betapa ada banyak orang yang didiagnosis dengan “kanker”, dan sebanyak itu pula dari mereka yang khawatir. Semenjak orang awam mengenal kanker adalah penyakit “sisa hidup lima tahun lagi” atau apapun, seperti di dalam sinetron.

“Bu, saya akan cerita, tentang seorang Suti.” Akhirnya, setelah sekian menit Andria berpikir mau cerita apa.

“Suti ki sopo, Mbak?” tanya Bu Sarmini.

“Hmm, pokoknya ibu dengerin dulu.” Andria menghela napas sejenak.

“Suatu hari, ada seorang ibu bernama Bu Suti. Bu Suti, adalah seorang ibu, namun juga seorang istri. Tapi, ia ditinggal suaminya, kawin lagi. Bu Suti hidup bersama kedua putranya. Yang satu, masih SMK, yang satunya lagi, masih SMP.
Bu Suti, hanya seorang lulusan SD. Ia kerja setiap hari sebagai buruh tani, belum sanggup punya tanah sendiri. Uangnya dia bagi, untuk makan sehari-hari, untuk anaknya, tabungan untuk sekolah anaknya. Di benaknya hanya ada anak-anaknya saja, tidak lebih.
Bu Suti, selalu memperhatikan kedua putranya, bila sakit, bila butuh apapun. Ia tahu uang hanya sedikit, hidup memang pas-pasan. Tapi, anak-anaknya harus sejahtera. Jadi, setiap keringat yang bercucuran di dahinya, semua dicurahkan untuk uang yang tak seberapa, yang ia kumpulkan hari demi hari.
Suatu ketika, Bu Suti merasa ada kelainan di tubuhnya. Ada benjolan kecil, di payudara kanannya. Tapi ia biarkan. Toh ia merasa tidak sakit sama sekali. Lambat laun, benjolannya membesar, sakit rasanya. Tapi ia tidak bercerita kepada siapapun.”

Lha, kok Bu Suti ndak cerita ke anaknya, to Mbak?” tanya Bu Sarmini.

“Nah itu dia bu. Bu Suti tidak mau anaknya khawatir. Bu Suti cuma berobat ke mantri di desa. Tapi Bu Suti merasa tidak membaik sama sekali. Malah makin parah, sesak pula kadang kalau tidur. Anak-anaknya akhirnya tahu, kalau Bu Suti sakit. Tapi Bu Suti bilang, kalau ke Puskesmas takut mahal. Makanya Bu Suti akhirnya bolak-balik ke mantri desa.”

Mesakke, yo Mbak,” Bu Sarmini sedih mendengar cerita tersebut.

“Iya bu. Akhirnya suatu malam, Bu Suti merasa kesakitan, dan sesak juga. Bu Suti akhirnya dirujuk ke rumah sakit daerah, dan akhirnya dirujuk ke sini buat pemeriksaan,” Andria menjelaskan.

“Bu Suti akhirnya gimana Mbak Dokter?” tanya Bu Sarmini, matanya agak membesar begitu tahu Bu Suti dirawat di rumah sakit yang sama dengannya.

“Bu Suti juga sama, kayak ibu. Tapi lebih berat, karena kanker payudara Bu Suti sudah menyebar sampai ke paru-paru. Ndak bisa dioperasi kayak ibu, tapi langsung dikemo, bu,” ujar Andria.

Lha, yaampun Gusti Allah. Mesakke tenan, Bu Suti. Bu Suti selamat bu? Atau gimana?” Bu Sarmini penasaran, tapi juga sedih.

“Nah, Bu Sarmini, lihat ibu yang hari ini pulang mboten bu?” tanya Andria balik ke Bu Sarmini.
Ibu sing lemu kuwi, Mbak? lihat kok. Namanya Bu Tinah, to?” ujar Bu Sarmini, memastikan.
Lha kuwi bu, Bu Sutinah. Yang 10 tahun lalu sama sedihnya dengan ibu. Bingung, merasa tidak akan sembuh. Apalagi sudah nyebar ke paru. Beliau kemo sudah 12 kali. Beliau selalu kontrol tiap 6 bulan dari Kudus ke sini, selama 10 tahun, untuk periksa penyebaran kankernya. Beliau dulu sempat 39 kg saja beratnya, tapi pasrah, dan yakin. Selalu berdoa, dan syukurlah anak-anaknya juga tidak patah semangat menemani Bu Sutinah. Sekarang, Bu Sutinah mencoba berdamai dengan penyakitnya. Beliau tetap rutin periksa, dan itu lho bu, kayak yang di iklan-iklan, sing penting, Positive Thinking disik, Bu. Karena Bu Sutinah makin lama merasa harus kuat, untuk anak-anaknya, untuk keluarganya. Walaupun Bu Sutinah tahu, dia harus periksa terus, harus waspada akan keganasan yang ia alami,” jelas Andria panjang lebar.

Sakjane kulo mesti bersyukur, yo, Mbak Dokter. Iki kulo masih bisa dioperasi kata Pak Dokter. Harusnya bisa lebih tabah, ketimbang Bu Tinah. Bu Sutinah malah tadi sempat bercandain saya, cekikikan sisan. Sampai saya bingung sakjane Bu Tinah sakit apa. Habis ndak seperti orang sakit,” Bu Sarmini sambil mengelus dada, membandingkan keadaannya dengan keadaan Bu Tinah.

“Ya, Bu. Kadang kita nggak bisa menjamin baik dan tidak keadaan seseorang. Semuanya memang tergantung yang di atas, Bu. Yang penting baik dokter dan pasiennya harus sama-sama yakin, sama-sama berdoa, dan sama-sama positif. Ya, semoga ibu terhibur nggih, dengan cerita saya. Saya masih dokter muda bu, saya masih harus belajar banyak. Tapi semoga cerita Bu Sutinah tadi, bisa menguatkan ibu. Karena banyak lho, bu, di luar sana yang tidak terdeteksi, datang ke sini, sudah stadium lanjut,” ujar Andria.

Nggih, Mbak. Tadi saya sampun diajari periksa payudara. Saya langsung cerita ke anak saya dan sedulur semuanya. Karena katanya mereka berisiko, nggih mbak?” tanya Bu Sarmini.

“Iya bu, begitu ada riwayat keluarga yang menderita kanker atau keganasan, otomatis saudara dengan hubungan darah, anak, ibu, kakak, adik, harus lebih perhatian. Kalau menemukan benjolan di payudara, harus periksa dulu ke dokter. Karena semua yang terdeteksi awal, mudah-mudahan stadium kankernya masih bisa mendapat penanganan seperti bedah, dan tentunya tidak sampai menyebar ke paru, atau tulang, bahkan sampai otak,” Andria kembali menjelaskan kepada Bu Sarmini yang ngangguk-ngangguk lalu tersenyum.

“Mbak dokter, matur nuwun nggih. Sekarang saya mau berusaha positif saja dulu. Mugi-mugi dapat berkat dari yang di atas supaya bisa sembuh,” Bu Sarmini kembali mengelus dada, tapi sekarang sudah tersenyum.

Andria lega, lalu mohon pamit. Si dokter muda itu, masih harus belajar tentang kanker payudara, upaya mendiagnosis, hingga penjelasan kepada pasien. Membuat Bu Sarmini bisa tertawa, sudah jadi kebahagiaan tersendiri untuk dirinya yang masih bau kencur itu.

Tapi setidaknya, di balik kisah yang ia ceritakan, ia belajar bahwa semangat pasien bisa menjadi obat untuk pasiennya sendiri, dan semangat pasiennya pula, yang membuat ia semangat untuk menggali ilmu lebih dalam, dan berempati kepada mereka yang sudah sedih tenggelam dalam penyakitnya. Dokter itu, adalah seni. Menggabungkan teori yang ia dapat, dan memformulasikannya, bagaimana pasiennya bisa menerima, bisa paham, dan bisa semakin menghargai kesehatannya sendiri.
(Seluruh cerita di atas merupakan fiktif, kecuali kisah perjuangan seorang Ibu dan kanker payudara T4N0M1, yang bertahan 10 tahun, yang dulu 39 kg kini bisa menjadi 62 kg, dan masih bisa tersenyum ketika ditanya bagaimana keadaannya)

Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Tips and Tricks UKMPPD!

Sudah seabad tidak menulis, akhirnya tergerak nulis setelah beberapa saat lalu ada adik-adik yang nanya : "Kak, bentar lagi UKMPPD, huhu" "Kak, lesnya gimana?" "Kak, aku ikut les yang mana ya kak?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah beberapa (dari sekian) pertanyaan yang saya ajukan ke kakak-kakak yang sebelumnya sudah lulus UKMPPD sebelumnya. Jujur, dari sekian banyak hal yang saya takutkan, UKMPPD ini adalah salah satunya. Kalau ditarik beberapa bulan ke belakang, masih nggak nyangka bisa lulus. UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter) merupakan ujian akhir yang pastinya harus dilewati setiap mahasiswa kedokteran di Indonesia untuk dapat lulus dan akhirnya disumpah menjadi seorang dokter. Karena ujian ini betul-betul yang terakhir sebelum memperoleh gelar dokter, makanya perjuangannya gila-gilaan. Tapi, harus segila apa sih? Tulisan ini, seperti judulnya : Bukan Tips and Tricks, maka isinya memang bukan gimana caranya kita lul...

Drama Ngeklik Internsip (Part 2) : END!

I'm dying to get this announcement! Setelah beberapa minggu ini cukup hectic, saya baru kesampaian untuk menuliskan pengalaman ngeklik isip yang dag-dig-dug-dhuar itu. Karena sudah telat updatenya, jadi saya segera ceritakan saja ya, tentang jatuh bangun ngeklik isip. Note : sebetulnya agak hiperbola kalau dibilang drama. Tapi, ini adalah salah satu momen drama dalam hidup saya akhir-akhir ini. jadi, enjoy aja ya. kan kalo judulnya nggak drama, nanti kalian ngga mau baca lagi hahaha lol! Phase 1 : Survey! Sebulan atau dua bulan sebelum ngeklik, saya survey nih ya ke tempat ngeklik. Ngapain sih survey? Dasarnya adalah karena warnet ini jauh banget dari rumah saya, dan saya sangat asing dengan daerah ini. Kebetulan saya nganggur, saya memutuskan buat mengunjungi warnet-warnet ini. Dua warnet yang saya pilih adalah Mineski dan Supernova, dan dua-duanya berlokasi di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Beneran buta daerah sana. Selain itu, saya juga sebenernya pengen tahu...

She is a Ghost, She is Falling in Love (4)

Di sekolah.. "Aduh, lo lupa bawa larutan NaCl? Gila!!" bentak Elis. Reana yang baru masuk kelas pun terkejut. "Eh, apa-apaan sih lo, kok marah-marah?" tanya Reana. Kiran pun hanya bisa menangis. "Ah, Kiran, lo tau nggak sih kalo eksperimen ini penting buat gue. Nilai gue udah jelek di Biologi. Lo sih enak nilainya bagus. Tega!" Elis bicara dengan nada tinggi. "Ehm, so..so..sorry, Lis. Gue nggak ada niat apapun. Gue nggak sengaja" ujarnya, sambil menangis. "Eh, udah ah. Larutan garam kan bisa dibikin di dapur" ujar Reana. "Alah, lo urus deh, Re. Jam terakhir nanti harus ada," seru Elis kepada Reana. Reana pun menenangkan Kiran. "Ran, udah jangan nangis. Nanti gue temenin lo pas istirahat ya. Nggak papa kok, jangan nangis ya," ujar Reana menenangkan. Kiran hanya mengangguk, sambil menangis. Jam pertama pun mereka lalui, dengan diam. -- "Eh Ran, lo bisa bikin sendiri kan larutannya?" tanya Re...