“Dok, ayo ceritakan sesuatu kepada saya,” ujar Bu Sarmini
kepada seorang dokter muda yang sedang memeriksanya. Dokter muda bernama Andria
itu, agak terkejut mendengar permintaan pasiennya.
“Lho, ibu mau cerita tentang apa? Kok tumben bu?” Andria kaget,
lalu tersenyum. Agak bingung tapi juga merasa lucu. Baru kali ini, ada pasien
yang minta cerita darinya. Mengingat semua memori, imajinasi, semuanya ia
simpan di otaknya.
“Saya ini sedih, Mbak..sopo
jenenge Mbak Dokter?” tanya Bu Sarmini.
“Nama saya Andria, Bu. Kalau ibu susah manggil nama saya,
manggil mbak dokter mboten nopo-nopo,
Bu,” jawab Andria. Paham kalau sering orang salah memanggil namanya. Jadi
Andra, Anria, Andri, atau apalah. Dia punya kamus daftar “salah-sebut-nama-Andria”.
“Hmm, ibu sedih kenapa?” Andria menarik kursi kosong, lalu
duduk di samping tempat tidur Bu Sarmini. 
“Mbak dokter, kulo habis periksa tadi sama dokter bedah. Katanya saya ini kena
kanker. Tapi masih bisa dioperasi, kata Pak Dokter tadi yang ngunjungi. Saya
takut, Mbak. Saya masih punya anak-anak, masih pingin lihat anak-anak hidup
sukses, Mbak Dokter,” ujar Bu Sarmini. Wajahnya merengut, sedih.
Andria berpikir sebentar. Lalu, ia menghela napas. Ia paham,
betapa ada banyak orang yang didiagnosis dengan “kanker”, dan sebanyak itu pula
dari mereka yang khawatir. Semenjak orang awam mengenal kanker adalah penyakit “sisa
hidup lima tahun lagi” atau apapun, seperti di dalam sinetron.
“Bu, saya akan cerita, tentang seorang Suti.” Akhirnya,
setelah sekian menit Andria berpikir mau cerita apa.
“Suti ki sopo, Mbak?”
tanya Bu Sarmini.
“Hmm, pokoknya ibu dengerin dulu.” Andria menghela napas
sejenak.
“Suatu hari, ada seorang ibu bernama Bu Suti. Bu Suti,
adalah seorang ibu, namun juga seorang istri. Tapi, ia ditinggal suaminya,
kawin lagi. Bu Suti hidup bersama kedua putranya. Yang satu, masih SMK, yang
satunya lagi, masih SMP.
Bu Suti, hanya seorang lulusan SD. Ia kerja setiap hari
sebagai buruh tani, belum sanggup punya tanah sendiri. Uangnya dia bagi, untuk
makan sehari-hari, untuk anaknya, tabungan untuk sekolah anaknya. Di benaknya
hanya ada anak-anaknya saja, tidak lebih.
Bu Suti, selalu memperhatikan kedua putranya, bila sakit,
bila butuh apapun. Ia tahu uang hanya sedikit, hidup memang pas-pasan. Tapi,
anak-anaknya harus sejahtera. Jadi, setiap keringat yang bercucuran di dahinya,
semua dicurahkan untuk uang yang tak seberapa, yang ia kumpulkan hari demi
hari.
Suatu ketika, Bu Suti merasa ada kelainan di tubuhnya. Ada
benjolan kecil, di payudara kanannya. Tapi ia biarkan. Toh ia merasa tidak
sakit sama sekali. Lambat laun, benjolannya membesar, sakit rasanya. Tapi ia tidak
bercerita kepada siapapun.”
“Lha, kok Bu Suti ndak cerita ke anaknya, to Mbak?” tanya
Bu Sarmini.
“Nah itu dia bu. Bu Suti tidak mau anaknya khawatir. Bu Suti
cuma berobat ke mantri di desa. Tapi Bu Suti merasa tidak membaik sama sekali.
Malah makin parah, sesak pula kadang kalau tidur. Anak-anaknya akhirnya tahu, kalau
Bu Suti sakit. Tapi Bu Suti bilang, kalau ke Puskesmas takut mahal. Makanya Bu
Suti akhirnya bolak-balik ke mantri desa.”
“Mesakke, yo Mbak,”
Bu Sarmini sedih mendengar cerita tersebut.
“Iya bu. Akhirnya suatu malam, Bu Suti merasa kesakitan, dan
sesak juga. Bu Suti akhirnya dirujuk ke rumah sakit daerah, dan akhirnya dirujuk
ke sini buat pemeriksaan,” Andria menjelaskan.
“Bu Suti akhirnya gimana Mbak Dokter?” tanya Bu Sarmini,
matanya agak membesar begitu tahu Bu Suti dirawat di rumah sakit yang sama
dengannya.
“Bu Suti juga sama, kayak ibu. Tapi lebih berat, karena
kanker payudara Bu Suti sudah menyebar sampai ke paru-paru. Ndak bisa dioperasi kayak ibu, tapi
langsung dikemo, bu,” ujar Andria.
“Lha, yaampun Gusti
Allah. Mesakke tenan, Bu Suti. Bu Suti selamat bu? Atau gimana?” Bu Sarmini
penasaran, tapi juga sedih.
“Nah, Bu Sarmini, lihat ibu yang hari ini pulang mboten bu?” tanya Andria balik ke Bu
Sarmini.
“Ibu sing lemu kuwi, Mbak?
lihat kok. Namanya Bu Tinah, to?” ujar Bu Sarmini, memastikan.
“Lha kuwi bu, Bu
Sutinah. Yang 10 tahun lalu sama sedihnya dengan ibu. Bingung, merasa tidak
akan sembuh. Apalagi sudah nyebar ke paru. Beliau kemo sudah 12 kali. Beliau
selalu kontrol tiap 6 bulan dari Kudus ke sini, selama 10 tahun, untuk periksa
penyebaran kankernya. Beliau dulu sempat 39 kg saja beratnya, tapi pasrah, dan
yakin. Selalu berdoa, dan syukurlah anak-anaknya juga tidak patah semangat
menemani Bu Sutinah. Sekarang, Bu Sutinah mencoba berdamai dengan penyakitnya.
Beliau tetap rutin periksa, dan itu lho bu, kayak yang di iklan-iklan, sing penting, Positive Thinking disik, Bu.
Karena Bu Sutinah makin lama merasa harus kuat, untuk anak-anaknya, untuk keluarganya.
Walaupun Bu Sutinah tahu, dia harus periksa terus, harus waspada akan keganasan
yang ia alami,” jelas Andria panjang lebar.
“Sakjane kulo mesti
bersyukur, yo, Mbak Dokter. Iki kulo
masih bisa dioperasi kata Pak Dokter. Harusnya bisa lebih tabah, ketimbang
Bu Tinah. Bu Sutinah malah tadi sempat bercandain saya, cekikikan sisan. Sampai saya bingung sakjane Bu Tinah sakit apa. Habis ndak seperti orang sakit,” Bu Sarmini sambil mengelus dada,
membandingkan keadaannya dengan keadaan Bu Tinah.
“Ya, Bu. Kadang kita nggak bisa menjamin baik dan tidak
keadaan seseorang. Semuanya memang tergantung yang di atas, Bu. Yang penting
baik dokter dan pasiennya harus sama-sama yakin, sama-sama berdoa, dan
sama-sama positif. Ya, semoga ibu terhibur nggih,
dengan cerita saya. Saya masih dokter muda bu, saya masih harus belajar banyak.
Tapi semoga cerita Bu Sutinah tadi, bisa menguatkan ibu. Karena banyak lho, bu,
di luar sana yang tidak terdeteksi, datang ke sini, sudah stadium lanjut,” ujar
Andria.
“Nggih, Mbak. Tadi
saya sampun diajari periksa payudara. Saya langsung cerita ke anak saya dan
sedulur semuanya. Karena katanya mereka berisiko, nggih mbak?” tanya Bu Sarmini.
“Iya bu, begitu ada riwayat keluarga yang menderita kanker
atau keganasan, otomatis saudara dengan hubungan darah, anak, ibu, kakak, adik,
harus lebih perhatian. Kalau menemukan benjolan di payudara, harus periksa dulu
ke dokter. Karena semua yang terdeteksi awal, mudah-mudahan stadium kankernya
masih bisa mendapat penanganan seperti bedah, dan tentunya tidak sampai
menyebar ke paru, atau tulang, bahkan sampai otak,” Andria kembali menjelaskan
kepada Bu Sarmini yang ngangguk-ngangguk lalu tersenyum.
“Mbak dokter, matur
nuwun nggih. Sekarang saya mau
berusaha positif saja dulu. Mugi-mugi dapat
berkat dari yang di atas supaya bisa sembuh,” Bu Sarmini kembali mengelus dada,
tapi sekarang sudah tersenyum.
Andria lega, lalu mohon pamit. Si dokter muda itu, masih
harus belajar tentang kanker payudara, upaya mendiagnosis, hingga penjelasan
kepada pasien. Membuat Bu Sarmini bisa tertawa, sudah jadi kebahagiaan
tersendiri untuk dirinya yang masih bau kencur itu.
Tapi setidaknya, di balik kisah yang ia ceritakan, ia
belajar bahwa semangat pasien bisa menjadi obat untuk pasiennya sendiri, dan
semangat pasiennya pula, yang membuat ia semangat untuk menggali ilmu lebih
dalam, dan berempati kepada mereka yang sudah sedih tenggelam dalam
penyakitnya. Dokter itu, adalah seni. Menggabungkan teori yang ia dapat, dan
memformulasikannya, bagaimana pasiennya bisa menerima, bisa paham, dan bisa
semakin menghargai kesehatannya sendiri. 
(Seluruh cerita di atas merupakan fiktif, kecuali kisah
perjuangan seorang Ibu dan kanker payudara T4N0M1, yang bertahan 10 tahun, yang
dulu 39 kg kini bisa menjadi 62 kg, dan masih bisa tersenyum ketika ditanya
bagaimana keadaannya)
Comments
Post a Comment