Minggu lalu, saya terkena musibah. Ya, mau menyebut sial, musibah, rasanya berat. Mungkin baiknya, sedang tidak beruntung. Gitar satu-satunya, gitar kesayangan saya, si Sameer, hilang dibawa orang.
Saya tidak akan menceritakan kronologi hilangnya kecuali bagi teman-teman, atau saudara yang berniat membantu mencari. Karena menuliskan semua itu cuma akan membuat saya makin sedih, drop, dan kembali ke fase blaming myself lagi. Lagi.
Terlalu banyak kenangan, sampai saya merasa gitar itu hidup. Gitar itu dulu saya mainkan sejak di Depok. Dengan lagu pertama yang saya mainkan adalah "When You Say Nothing At All" yang kuncinya G D C doang. Sesenang itu ketika seseorang yang nggak bisa apa-apa bisa menghasilkan suatu melodi dari gitar yang diidamkan sejak lama. Walaupun dulu ayah saya sempat protes, "Ngapain beli gitar yang senarnya kayak gini? Akustik gini kan sakit jari kamu. Nggak bakalan bisa bagus dalam waktu lama," kata ayah saya. Lalu beliau ambil gitar saya dan memainkan lagu random secara petik. Dan memang, untuk bisa main gitar walaupun saya kelas amatiran se-amatir-amatirnya gitaris, seenggaknya kalau saya bosen, sedih, dan naluri musikalisasi saya muncul, saya akan bermain dan bernyanyi.
Yes, that guitar has memories, indeed.
Kenapa namanya Sameer?
Karena Sameer adalah Sameer Gadhia, vokalis band Young the Giant, band indie kesukaan saya dengan judul lagi Mind Over Matter yang sudah saya lancarkan, dan saya mainkan dengan si Sameer.
Oke, cukup soal gitar. Mungkin sekarang Sameer sedang dimainkan oleh orang lain. Mungkin dipakai untuk menafkahi orang lain, atau menjadi hadiah bagi seseorang yang sangat menginginkan sebuah gitar untuk mengisi hidupnya yang kosong.
Tadi siang, pagi sih tepatnya, saya dan Cancan kembali iseng membicarakan sesuatu yang dalam tentang ini dan itu, tentang life goals, tentang pandangan mengenai pendidikan, tentang how to beat ourselves by keeping says no karena takut akan hal ini dan itu.
"Sebenernya kan, musuh utama dalam hidup adalah kita sendiri. Orang lain itu biar aja anonim dengan kemampuannya dia. Tapi kadang kita sendiri yang membatasi diri kita. Kita bisa aja masih di ujung jalan, tapi kita nggak berani melangkah. Padahal goal kita itu ada di ujung. Tapi gimana mau menuju ke sana kalau maju aja enggak,"
Bijak ya temen aku. Terharu.
"Sama untuk melawan ego kita sendiri. Buat nggak males, nggak bohong, dan lain sebagainya," lanjut Cancan.
Iya, bener juga. Nggak bohong. Ego. Egoisme terhadap diri sendiri.
Terus, apa hubungannya life goals dan ego, dan dengan gitar yang hilang?
Well, saya berusaha membohongi diri sendiri. Bohong setiap pagi kalau gitar itu seolah masih ada, dan beberapa hari ini mengendap di kamar berharap sesosok kayu teronggok di pojok sana. Iya, saya sedih. Dan akan begitu terus. Karena saya egois, berharap bahwa semuanya akan kembali dan nggak nerima kenyataan.
Sampai hari ini, dapet pencerahan dari orang-orang terdekat. Jujur kejadian ini, ada berkahnya juga. Ya, kadang kita, dalam keadaan apapun harus bisa melihat dari berbagai segi dan sisi, dan dari situ akan ada pelajaran yang kita petik.
Sekarang, saatnya turunkan ego. Hadapi kenyataan. Karena, menjadi dewasa, meraih life goals yang kita susun dan tetap membiarkan hidup mengalir apa adanya...
bukan hal yang mudah, tapi selalu mungkin untuk kita jalani. Tetap berdoa, berusaha, and enjoy every second in our life.
CHEERS! To the life!
Semoga menginspirasi, dan semoga senantiasa diberkati Tuhan :)
-S
(ditulis saat goleran di kamar, dan harus ikut apel pagi besok. Sambil ngitung duit untuk nabung beli ukulele hahahaha)
Saya tidak akan menceritakan kronologi hilangnya kecuali bagi teman-teman, atau saudara yang berniat membantu mencari. Karena menuliskan semua itu cuma akan membuat saya makin sedih, drop, dan kembali ke fase blaming myself lagi. Lagi.
Terlalu banyak kenangan, sampai saya merasa gitar itu hidup. Gitar itu dulu saya mainkan sejak di Depok. Dengan lagu pertama yang saya mainkan adalah "When You Say Nothing At All" yang kuncinya G D C doang. Sesenang itu ketika seseorang yang nggak bisa apa-apa bisa menghasilkan suatu melodi dari gitar yang diidamkan sejak lama. Walaupun dulu ayah saya sempat protes, "Ngapain beli gitar yang senarnya kayak gini? Akustik gini kan sakit jari kamu. Nggak bakalan bisa bagus dalam waktu lama," kata ayah saya. Lalu beliau ambil gitar saya dan memainkan lagu random secara petik. Dan memang, untuk bisa main gitar walaupun saya kelas amatiran se-amatir-amatirnya gitaris, seenggaknya kalau saya bosen, sedih, dan naluri musikalisasi saya muncul, saya akan bermain dan bernyanyi.
Yes, that guitar has memories, indeed.
Kenapa namanya Sameer?
Karena Sameer adalah Sameer Gadhia, vokalis band Young the Giant, band indie kesukaan saya dengan judul lagi Mind Over Matter yang sudah saya lancarkan, dan saya mainkan dengan si Sameer.
Oke, cukup soal gitar. Mungkin sekarang Sameer sedang dimainkan oleh orang lain. Mungkin dipakai untuk menafkahi orang lain, atau menjadi hadiah bagi seseorang yang sangat menginginkan sebuah gitar untuk mengisi hidupnya yang kosong.
Tadi siang, pagi sih tepatnya, saya dan Cancan kembali iseng membicarakan sesuatu yang dalam tentang ini dan itu, tentang life goals, tentang pandangan mengenai pendidikan, tentang how to beat ourselves by keeping says no karena takut akan hal ini dan itu.
"Sebenernya kan, musuh utama dalam hidup adalah kita sendiri. Orang lain itu biar aja anonim dengan kemampuannya dia. Tapi kadang kita sendiri yang membatasi diri kita. Kita bisa aja masih di ujung jalan, tapi kita nggak berani melangkah. Padahal goal kita itu ada di ujung. Tapi gimana mau menuju ke sana kalau maju aja enggak,"
Bijak ya temen aku. Terharu.
"Sama untuk melawan ego kita sendiri. Buat nggak males, nggak bohong, dan lain sebagainya," lanjut Cancan.
Iya, bener juga. Nggak bohong. Ego. Egoisme terhadap diri sendiri.
Terus, apa hubungannya life goals dan ego, dan dengan gitar yang hilang?
Well, saya berusaha membohongi diri sendiri. Bohong setiap pagi kalau gitar itu seolah masih ada, dan beberapa hari ini mengendap di kamar berharap sesosok kayu teronggok di pojok sana. Iya, saya sedih. Dan akan begitu terus. Karena saya egois, berharap bahwa semuanya akan kembali dan nggak nerima kenyataan.
Sampai hari ini, dapet pencerahan dari orang-orang terdekat. Jujur kejadian ini, ada berkahnya juga. Ya, kadang kita, dalam keadaan apapun harus bisa melihat dari berbagai segi dan sisi, dan dari situ akan ada pelajaran yang kita petik.
Sekarang, saatnya turunkan ego. Hadapi kenyataan. Karena, menjadi dewasa, meraih life goals yang kita susun dan tetap membiarkan hidup mengalir apa adanya...
bukan hal yang mudah, tapi selalu mungkin untuk kita jalani. Tetap berdoa, berusaha, and enjoy every second in our life.
CHEERS! To the life!
Semoga menginspirasi, dan semoga senantiasa diberkati Tuhan :)
-S
(ditulis saat goleran di kamar, dan harus ikut apel pagi besok. Sambil ngitung duit untuk nabung beli ukulele hahahaha)
Comments
Post a Comment