"Aku udah biasa sama perpisahan, Stel"
ujar seorang teman, saat saya bilang kalau saya sedih harus pulang ke Semarang lagi.
Ya, begitulah setiap menghadapi perpisahan. Ada rasa tidak nyaman yang mengusik saya, entah saat sedang diam, saat sedang melamun, saat sedang kosong.
Saya bukan Rizky Febian yang bilang Berpisah Itu Mudah. Selain menguruskan badan, berpisah adalah salah satu hal paling sulit yang saya hadapi. Tepatnya berpisah sama zona nyaman, asik.
Zona nyaman itu apa?
Berada sama teman-teman yang saya sayangi, bisa ketawa bareng, main bareng. Eh sekarang sudah harus jalan sendiri-sendiri. Iyalah, ngejar goal masing-masing.
Mungkin harus berusaha sendiri itulah, yang membuat saya harus keluar dari zona nyaman. Selama ini saya merasa baik-baik saja, karena saya tahu saya punya teman-teman sekelompok, yang kemana-mana sepaket. Tapi sekarang, paket hemat yang paling laku. Alias, hanya kamu, diri kamu sendiri yang kamu bawa, kamu rawat, kamu dukung, dan kamu kembangkan. Buat saya, itu nggak gampang.
Keberanian, mungkin itu (pasti, tepatnya) yang saya butuhkan. Dunia luas banget, jauh dari kenyataan yang saya pikirkan. Dunia nggak cuma seluas kamar tempat saya nyanyi kenceng-kenceng tiap saya bete atau senang.
Berpisah itu berat,
Apalagi berpisah dengan zona nyaman. Dengan orang-orang yang kita sayang, dengan orang-orang yang bisa kita andalkan, berpisah dengan orang-orang yang membuat kamu bersyukur bisa hidup di hari ini.
"Aku yakin Stel, suatu saat pasti kita bisa ketemu lagi sama orang-orang yang harus kita tinggalin" ujar teman saya lagi.
Seenggaknya, walau belum ada keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri, kita masih ada harapan.
Harapan untuk kembali ke zona nyaman, harapan untuk bisa terus berkarya dan hidup menyenangkan, padahal ya hidup kan realita. Isinya kadang enak kadang ngga enak.
Jadi, sampai bertemu di situasi menyenangkan lain. Di lain kesempatan.
Suatu hari, kita pasti bisa ketemu lagi.
-S
(ditulis saat galau hendak selesai kompre)
Comments
Post a Comment