#koasbercerita
Dari Mata Seorang Koas di Bangsal
Setiap jaga, seperangkat alat perang mulai dari tensimeter, temp, saturasi, semua tersimpan dalam satu tas, tas warna-warni. Kubawa yang biru, temanku merah, temanku lainnya hijau. Handphone siap di kantung kanan, pulpen dan list pasien yang hendak dipantau siap di kantung kiri, dan stetoskop menggantung dengan pasrahnya di leher.
Jam 16.00, jaga pun dimulai.
Dari satu bangsal ke bangsal lain, mendatangi pasien, melingkari tensi, mencatat, dan berulang sepanjang malam.
Kadang bertemu pasien yang senang sekali tampaknya walau cuma ditensi, kadang bertemu pasien yang gelisah sampai kau terusik untuk kepo dan melihat rekam medisnya, kadang bertemu pasien yang tidur, atau...yang sudah bosan berhadapan dengan para dokter muda ini.
Lalu, ada yang beda di jaga kali ini. Kulihat, ada sesuatu, yang biasa kamu lihat di film-film romance di bioskop.
Kamu bisa melihat cinta.
Ya, ada cinta di bangsal. Di kala bangsal itu pengap, kadang bau tak sedap, kadang penuh keringat, ternyata aku melewatkan banyak kisah yang tidak kalah romantis.
Ketika kamu melihat ada seorang suami yang menungguoi istrinya, memegang tangannya. Kadang menyuapi. Menggendong saat sang istri sulit untuk bangun, dan kadang mereka sama-sama berjaga bersama para dokter, takut kelak Tuhan menjemput kekasihnya di waktu ia tidur.
Ketika kamu, di tengah menensi, ada secercah wajah penuh kekhawatiran. "Berapa dok?" setiap kamu selesai melepaskan stetoskop dari telinga."Normal kok bu" atau "Tinggi banget bu. Ibu pusing nggak?" atau "Rendah sekali, ibu lemes nggak? yang ibu rasakan sekarang apa?".
Atau ketika kamu mengecek suhunya, melihat saturasinya, wajah mereka khawatir, takut sekali, takut jika hasil pengawasanmu jelek...mereka lalu memegang tangan pasien, menepuk-nepuk punggung, atau bahkan berdeham lega karena tahu orang kesayangannya baik-baik saja.
Atau ketika kamu melihat, seorang pasien yang terbaring koma, dan anaknya melantunkan doa-doa di telinga ibunya yang hanya memiliki GCS E1M1V1, bahkan rangsang sakit pun tak mampu membuka matanya. Tapi doa dan harapan yang ia panjatkan kepada Tuhan senantiasa ia ulangi, ulangi, dan ulangi.
Koas ini menarik napas. Menyesal, sudah sekian malam ia lewatkan pemandangan ini. Pemandangan di mana, di saat kamu tak ada daya, tapi selalu ada seseorang yang selalu menemanimu, menghargai kamu, mencintai kamu.
Lalu saat ada pasien yang Tuhan jemput, disitulah kisah cinta itu berakhir. Disitulah, di pojok bangsal, bertambah lagi orang yang patah hati. Dan kamu hanya bisa menunduk, menunduk, sambil melihat tangisan mereka yang tak percaya cintanya sudah pergi dari dunia ini.
Ya, bertambah lagi patah hati. Bertambah lagi tangisan.
Lalu kamu kembali menuju bangsal lainnya, kembali menensi, dan melihat kisah cinta yang lebih banyak lagi.
Lalu kamu berharap, jangan biarkan cintanya mati disini. Biarkan ia pulang dengan bahagia. Biarkan ia pulang dengan tawa. Bukan diam dengan kebisuan. Bukan pergi tanpa tatapan.
-stella-
Comments
Post a Comment