#koasbercerita
Ketika Koas Belajar Jiwa
Belum genap seminggu aku ada di dalam stase Psikiatri. Ya, psikiatri, salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang jiwa.
Dokter spesialis jiwa.
Ya, di pikiran banyak orang, pasti rumah sakit jiwa atau dokter spesialis jiwa cuma mengurus yang namanya orang depresi, orang cemas, dan tentunya orang gila!
Hmm, awalnya aku pikir, berapa banyak sih di sekitar kita yang mengalami gangguan jiwa. Aku pikir, jumlahnya cuma sedikit, sedikit banget bahkan. Kalau stress doang sih, banyak.Bahkan sesama teman koas, atau ya diri kita sendiri sering banget menghadapi yang namanya stress. Tapi syukurlah Tuhan memberikan kita suatu mekanisme pertahanan jiwa yang matur, hingga boleh berdiri sampai saat ini.
Tapi ternyata gangguan jiwa, dan lainnya...ratusan orang jumlahnya, baik pasien dan keluarganya harus berjuang menghadapi itu, setiap hari.
Orang dengan gangguan jiwa itu, mungkin lucu. Lucu, saat kamu melihat ke orang itu, dan dia tertawa sendiri, bicara sendiri, nangis sendiri, teriak sendiri, terus dadah-dadah sendiri. Ya, pokoknya, mereka dan dunianya lah.
"Mas, mas itu kelebihannya apa sih?
"Kelebihan saya mbak? Saya paling jago mbak, MARAH-MARAH. Kalau saya marah, wah, rame mbak di rumah, banyak piring terbang!"
"Mbak, mbak tuh dirawat di sini (RSJ) itu kenapa?"
"Saya nggak tau mbak, padahal to ya salon saya tuh lagi rame-ramenya. Mbak pokoknya follow instagram saya dulu, nanti saya kasih creambath gratis"
"Mbak-mbak dokter, tenang aja. Malam ini saya sholat jam 12-3 subuh buat bilang ke Gusti Allah biar mas dan mbak sekalian cepet lulus. Kalau saya sholat, beda dari yang lain. Aku ki ngadep langsung ke Gusti Allah, doanya langsung sampe, sruuut! (lalu tangannya diangkat lurus ke atas)"
Lucu kan? Lucu. Sama, saya masih belajar mengendalikan diri saya untuk tidak tertawa dan fokus tentang informasi apa yang perlu saya gali.
Tapi, suatu pagi, ketika saya iseng dateng pagi ke bangsal untuk cari kasus, saya memperhatikan mereka. Setiap pagi, mereka rutin olahraga pagi, lalu ditensi, makan pagi. Saya perhatikan mereka, mereka tampak...bingung, bahkan linglung, hanya mengikuti arahan instruktur senam. Hanya mengikuti arahan perawat. Lalu bingung, bingung, dan bingung.
Beberapa berwajah sedih, beberapa tampak afek datar, beberapa lagi tampak senang. Lalu saya membatin, apa sih yang mereka rasakan? Apa sih yang ada di otak mereka. Notabene, tanpa kelainan di otak/mental organik, mereka sehat. Bisa jadi lebih sehat daripada saya sendiri.
Terus mereka kenapa?
Jiwa mereka sakit, jiwa mereka yang perlu diobati. Mereka nggak bisa menentukan apa yang mereka rasakan. Kebanyakan mereka mengalami delusi kontrol, dimana mereka merasa dikendalikan oleh sesuatu, dibisikkan suara-suara, entah menyuruh mereka bunuh diri, atau apapun. Ini lebih buruk daripada diteror orang, karena mereka diteror oleh untaian pikiran yang ada di dalam diri mereka sendiri.
Kadang sedih melihat hal itu, kadang geli sendiri. Suatu ketika seorang SPV berkata, "Dek, bersyukur dek, kalian masih bisa berpikir, masih bisa belajar. Mereka untuk hidup sehari-hari saja susah dek".
Banyak dari mereka, setiap ketemu koas selalu nanya "Mbak, mas, pak dokter, bu dokter, saya boleh pulang kapan?"
Mereka bisa rindu lho, mereka bisa, masih bisa menyayangi keluarganya, di saat orang normal jaman now bisa aja berbuat tega.
Itu baru orang-orang dengan kelainan psikotik yang sulit membedakan realita. Gimana dengan orang neurotik? Mereka yang akal sehatnya masih ada, tapi selalu depresi, selalu disuruh bunuh diri, merasa hidupnya hampa, useless, merasa rendah.
Atau mereka yang cemas, yang panik, yang tidur aja butuh obat.
Jiwa itu, nggak kelihatan. Jiwa itu, sulit didefinisikan.
Jiwa bisa sehat, bisa kuat. Namun sekalinya rapuh, untuk hidup aja rasanya harus berjuang keras. Sama dengan penyandang kanker, penyakit Genetik, dan lainnya.
Kalau ketemu atau melihat orang telanjang dipinggir jalan, masih sanggup ngehina?
Kalau ngelihat orang Depresi, masih berani sebut mereka lebay?
Well, kalau kayak gitu, sama aja kita lebih rendah. Karena mereka jauh lebih hebat, karena seenggaknya, dengan kekurangan mereka, mereka masih mau berjuang buat sehat lagi, buat hidup seperti biasa lagi.
-stella-
Comments
Post a Comment