![]()  | 
| Suasana di Gerbong Kereta | 
Manusia, dianugerahi oleh akal budi sehingga ia mampu mengembangkan diri dari berbagai aspek. Mulai dari sisi eksakta, hingga sisi sosial. Sudah sejak dulu kita berkembang untuk bagaimana berelasi dengan orang lain, dan ternyata semua aspek itu ada seninya, termasuk seni dalam membangun relasi dengan orang lain.
Orang lain, stranger, orang yang kita nggak kenal, ada puluhan, ratusan, ribuan di sekitar kita. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, kemudian mampu menciptakan populasi yang dinamakan masyarakat. Menjadi sekelompok orang yang sejak dulu telah membangun adat-istiadatnya, membentuk norma, yakni suatu hukum yang tidak tertulis.
Dulu waktu belajar pendidikan kewarganegaraan, hukuman bagi seseorang yang melanggar adat-istiadat, kebiasaan, dan norma adalah hukuman sosial. Mulai dari digunjingkan, sampai paling parah diisolasi, atau diusir dari tempat tersebut.
Nilai-nilai ini sifatnya luhur dan tidak seperti hukum kebanyakan, sifatnya lebih subyektif, lebih elastis, dan tentunya tidak ada patokan standar yang melekat. Tidak ada angka, ukuran, maupun nilai kuantitatif untuk diperbandingkan.
Nilai inilah yang kita bawa ke kehidupan sehari-hari sampai sekarang. Mulai dari salaman dengan tangan kanan, cium tangan, berkata sopan, mengantre, mengalah dengan yang tua, dan sebagainya. Pasti tahu lah ya, nilai-nilai seperti itu. Tapi praktiknya?
Seminggu yang lalu, saya menjadi anak kereta, anker, anak KRL. Berangkat jam 5.00 dari rumah, pulang jam 6.00 sore. Tipikal jam keseharian orang-orang, sehingga di stasiun dan KRL pun saya bertemu dengan ratusan orang. Nah, ini adalah momen ketika saya bisa mengamati banyak orang. Iya, sambil pasang headset, separuh acuh tak acuh, saya mempehatikan tingkah laku mereka. Tak disangka, tempat umum seperti ini bisa dipakai untuk belajar juga.
Saya jujur kesal. Nilai-nilai yang tadi saya bilang, rasa-rasanya sekarang menguap begitu saja. Semua rebutan, semua duluan, semua jarang yang mau mengalah, dan bahkan rasanya mencuri itu hukumnya dilarang secara norma, hukum, bahkan dalam agama. Tapi toh, kejadian copet-mencopet masih jadi suatu kebiasaan. Sehingga, melihat semua orang rebutan naik tanpa peduli siapa yang turun, melihat orang duduk dan tidak membiarkan yang tua duduk, dan hal-hal kecil sebagainya membuat saya membatin, menggunjing, dan seolah saya menjadi hakim atas orang-orang ini.
Okay, cukup dengan keseriusan ini. Saya akan banting setir, dan coba saya bikin lucu aja, biar di hari Minggu (atau hari apapun) saat anda membaca ulasan saya, teman-teman bisa sedikit tersenyum. Dan mungkin kita sama-sama bisa ngamatin orang-orang kalau di tempat umum yang ternyata asek juga.
Suatu hari, kalau nggak salah itu hari kedua saya jadi anak kereta, hari selasa tepatnya, saya agak trauma pulang naik kereta terhimpit. Akhirnya, saya dikomando oleh ibu dan kakak saya untuk pulang ke arah Kota dulu, supaya keretanya sepi dan bisa duduk. Berhubung hari sebelumnya saya mau keluar kereta aja nggak bisa, maka saya putuskan untuk naik ke Kota.
Ketemu nih sama ibu-ibu, lumayan sepuh sih. 50 tahun ada deh, kayaknya.
"Mbak, mau ke Bogor yah?"
"Iya bu, saya nanti mau turun Depok. Ibu mau ke kota dulu?"
"Iya, nih mbak. Biar duduk, ibu nggak kuat berdiri" sambil terus ibunya lanjut main hp.
Oke, sembari buka app di hp, saya pantengin arah Bogor - Kota, yang masih beberapa menit dateng. Dan nggak lama, ternyata beneran dateng, dan kosong tentunya.
"Bu, ayo bu. Ini kereta yang dari Bogor," saya ngajak si Ibu naik.
Kami berdua pun naik, lalu si ibu langsung duduk di kursi prioritas. Kebetulan di tempat itu kosong dua. Ibu langsung narik tangan saya.
"Mbak, ayo duduk mbak," ujar ibu. Karena memang saya luar biasa capek (belum biasa harap maklum), saya pun duduk aja. Toh enggak ada ibu hamil, nenek/kakek, atau yang bawa anak kecil.
Nggak berapa lama saya tidur. Dan beneran tiba-tiba melek, keretanya udah jalan, udah balik dari Kota menuju Bogor. Disini petualangan dimulai.
Saya kebangun karena mulai sumpek. Dan ada sekelompok mas-mas yang *maaf* bawelnya super. Ini beneran sebawel itu, sambil mereka agak sambat (sambat : mengeluh, boso Jowo) karena mereka enggak dapet tempat duduk. Di kiri saya masih duduk si ibu, di kanan saya juga penuh. Karena separo sadar, saya melek sebentar, ngecek HP mau liat jam sekalian ngecek LINE karena bolak-balik getar terus.
Dalam posisi masih pake headset (tapi suara orang-orang masih tembus), tiba-tiba ada yang teriak :
"MISI! ADA YANG NGGAK HAMIL NGGAK YA?"
suara mbak-mbak, yang pasti doi lagi hamil. Nggak ada yang bergerak, dan bicara.
"MISI, ADA YANG NGGAK HAMIL NGGAK, YANG DUDUK?" ujar si mbak lagi.
Dalem hati saya antara kesel karena capek banget, dan kesel karena si mbak teriaknya nyolot. Tapi dia lagi hamil, jadi.....Ibu hamil nggak pernah salah.
Kebetulan, di hadapan saya (sebenernya saya nggak bisa lihat di hadapan saya ada apa), intinya di kursi seberang, kedengeran anak-anak muda cewek cekikikan sepanjang jalan sebelum mbak hamil itu teriak. Jadi saya mikir "duh, mbak-mbak di depan masih ada tenang buat ketawa, biar mereka ajalah yang ngalah"
Namanya juga capek, jadi mau menang sendiri nih aku ceritanya.
Literally, saya memutuskan buat merem lagi dong. Dan, tapi..tapi.. kedengeran nih suara mas-masnya yang tadi saya bilang bawel itu (ada sekitar dua orang)
"Doh, ini pada ngapain sih duduk doang. Ini lagi, ada yang pake headset, PURA PURA BUDEG YE?"
Wow, aku terkena penghakiman guys! Dan mereka nyindir bener-bener dari (kayaknya itu dari Gondangdia deh) sampe akhirnya saya berdiri di stasiun UI dan mau siap siap keluar. 
Saya pun reflek, langsung pegang perut, pegang kepala, batuk-batuk. Beberapa kali saya usap perut, biar dikira hamil beneran.
Dan beneran pas saya berdiri, mereka nyinyir lagi dong,
"Ah elaah, akhirnya berdiri juga nih yang pura pura tadi"
Sambil sebodo amat, saya tetap dong berdiri, sambil megangin perut. Lumayan, dikasih jalan pas turun. Saking capeknya, udahlah saya anggap angin lalu. Toh, mereka nggak tau saya bangun jam berapa pagi tadi, dan apa yang harus saya kerjain malemnya, hingga besok harus menjalani rutinitas yang sama.
Sambil sebodo amat, saya tetap dong berdiri, sambil megangin perut. Lumayan, dikasih jalan pas turun. Saking capeknya, udahlah saya anggap angin lalu. Toh, mereka nggak tau saya bangun jam berapa pagi tadi, dan apa yang harus saya kerjain malemnya, hingga besok harus menjalani rutinitas yang sama.
NAH!
Dari cerita di atas, okelah saya ngerasain yang namanya dihakimi, dipandang miring sama orang. Karena saya nggak mau ngalah sama ibu hamil. saya salah? Oya jelas, salah. Tapi, di sisi lain, saya juga pengen orang itu melihat dari sisi saya juga. Mereka kan nggak tahu apa yang saya lakukan sampai saya nggak mau ngalah. Dan mereka nggak harus tahu. Akibatnya, mereka cuma lihat di superfisial dan dengan mudah menghakimi saya.
Sama toh, dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kenapa orang pada nggak tahu aturan? Kenapa orang dengan mudah nggak mau ngalah? Kenapa sih, kembalian kurang 200 aja ribet banget sampai bikin kasir macet?
Karena mereka punya alasan masing-masing, mungkin. Iya, mungkin. Karena saya nggak tahu dan nggak perlu tahu urusan masing-masing orang. Atau mungkin tabiat aslinya memang seperti itu, entahlah. Saya pernah membaca di buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck karya Mark Manson, tentang seorang nenek yang heboh banget di kasir karena uang kembalian ato bonus berapa sen gitu kurang dan dia ribet banget sampai terjadi antrian panjang di kasir. Jelas, orang sekitar akan komentar "Ibu itu apa nggak punya duit ya?"
Kenyataannya nenek itu memang sudah nggak ada uang sama sekali sehingga ia sangat, sangat menghargai uang, berapapun nilainya. See, everyone has their own reason to do their own actions in public.
Seorang hakim, bisa menghakimi karena ia melihat dari dua sisi dan dari situ ia mengambil keputusan tentang siapa yang salah, apa langkah yang harus diambil, dan sudah tugasnyalah menghakimi.
Yang saya alami di atas, menjadi pelajaran buat saya sendiri. Instead of menghakimi orang dari sisi saya, saya lebih tertarik dengan "kenapa orang itu bisa melakukan hal tersebut?". Pertanyaan itu nggak saya renungi, hanya selintas aja sekedar untuk mengalihkan pikiran saya, daripada sok menilai orang lain, mungkin baiknya saya melihat, apa yang dilakukan orang lain serta baik buruknya untuk kemudian saya praktikkan atau saya hindari di masa depan.
Sekian Intermezzo sore ini. Dari pura-pura hamil, kegencet di kereta, belajar bodoh amat dengan ini dan itu, ternyata bisa jadi selingan dan tentu, refleksi untuk diri saya sendiri juga.
Kenyataannya nenek itu memang sudah nggak ada uang sama sekali sehingga ia sangat, sangat menghargai uang, berapapun nilainya. See, everyone has their own reason to do their own actions in public.
Seorang hakim, bisa menghakimi karena ia melihat dari dua sisi dan dari situ ia mengambil keputusan tentang siapa yang salah, apa langkah yang harus diambil, dan sudah tugasnyalah menghakimi.
Yang saya alami di atas, menjadi pelajaran buat saya sendiri. Instead of menghakimi orang dari sisi saya, saya lebih tertarik dengan "kenapa orang itu bisa melakukan hal tersebut?". Pertanyaan itu nggak saya renungi, hanya selintas aja sekedar untuk mengalihkan pikiran saya, daripada sok menilai orang lain, mungkin baiknya saya melihat, apa yang dilakukan orang lain serta baik buruknya untuk kemudian saya praktikkan atau saya hindari di masa depan.
Sekian Intermezzo sore ini. Dari pura-pura hamil, kegencet di kereta, belajar bodoh amat dengan ini dan itu, ternyata bisa jadi selingan dan tentu, refleksi untuk diri saya sendiri juga.
If you judge people, you have no time to love them.quoted from Mother Teresa
Semoga makin hari, kita bisa semakin jadi manusia yang semakin baik ya, amin!
-stella

Comments
Post a Comment