Skip to main content

Akara (Rupa) : Bagian I

Ada sesuatu yang berjalan, tanpa jejak
Ia sendiri, mampu berpijak
Ia turun dari Tuhan, membentuk garis
Garis yang tidak bisa ditangkas lagi,
Garis yang kita sebut Takdir, garis kehidupan
Takdir, yang berwujud, memiliki rupa, 
Akara..

Aku membuka lembaran album yang tersimpan lama di rak-rak lemari. Sebentar lagi aku pindah, toh tidak ada lagi yang menahanku di sini, Roxa. Kota asalku, yang juga sudah lama kutinggalkan, lalu aku kembali lagi.
Tidak lain karena dia. Yang sepanjang hidupku, menjadi alasan kenapa aku melakukan hal, yang sebagian seharusnya tidak kulakukan, dan separuhnya lagi harus aku lakukan.

Perlahan kutelusuri setiap album dan foto-foto itu, mencari alasan dan ilham, atas rasa kesesalan dan kehilangan. Sekarang, akan aku buka memori ini sekali lagi, sebelum aku pergi.

Tidak ada yang menahanku lagi, kecuali, memori.


[17 tahun yang lalu] : Alec

-------------------------------------------------------------------------

Dari lantai tiga balkon gedung tua, aku duduk menikmati langit jingga sore itu. Perlahan pepohonan dan gedung berubah menjadi siluet lalu menyatu dengan gelapnya malam. Kuambil kamera, sesekali kufoto langitnya, atau bangunan dengan langit, intinya langit yang menjadi pemeran utamanya. Aku suka sekali dengan gradasi merah, jingga, kuning, putih, kadang tersisa sedikit biru dan merah muda. Waktu aku masih senang menggambar, langit akan kulukiskan sepenuh hati, sampai sering langit lebih bagus daripada obyeknya. Sementara kupandangi langit itu, Drosel, si penjaga sekolah paruh baya, tengah menyapu halaman dari daun-daun pepohonan yang rontok perlahan. Ia melambaikan tangan. Kubalas balik lambaiannya. Itu adalah tanda saatnya aku pergi dari sini, karena ia akan mengunci pintu gedung, atau gudang, atau istanaku ini. Begitulah aku menyebutnya.

Balkon ini cukup nyaman sebenarnya. Aku bingung menyebutnya apa, intinya ini adalah bagian memanjang dari ruangan dalam, di mana kau bisa melihat sisi samping sekolah yang terbengkalai. Menikmati setiap kesunyian di daerah yang tidak pernah disentuh orang. Mungkin ada hantu disana, kabarnya demikian. Tapi aku tidak peduli.


Setahuku, cuma aku yang senang berada di sekolah ini sampai sore, malam kadang, kalau aku punya uang untuk menyuap Drosel dengan sekotak rokok. Tapi, sudah beberapa hari ini, kulihat dia, orang yang sama, dengan rambut sebahunya dari belakang.

Ia hanya duduk saja di kursi tunggu, lalu begitu lampu jalan dinyalakan, barulah ia melangkah pulang.

Kuabaikan dia, mungkin dia hanya salah satu siswa yang aneh, atau belum dijemput, atau entahlah. Tidak ada gunanya melihat gadis itu berjalan menuju jalan besar. Dari tas dan bentuknya, sudah kupastikan mungkin dia si anak kaya itu.

Si anak kaya sebatang kara, yang menjadi perbincangan di kelasku, atau...di satu sekolah?


[17 tahun yang lalu] : Leah
-------------------------------------------------------------------------


Pindah ke sekolah ini, sebenarnya tidak terlalu melelahkan karena..tidak ada seorangpun yang mengenalku. Aku bisa pura-pura menjadi pendiam sepanjang hari, walaupun kadang menjenuhkan dan rasanya ingin meledak jika aku melihat keadaan berjalan tidak semestinya. Semisal, aku melihat..siapa ya namanya..hmm..Tori? Ya, Tori, salah satu teman sekelasku, anak perempuan yang pendiam tapi menurutku ia terlampau lugu di usia 15 tahun. Kulihat ia menduduki kursi yang ternyata ada tumpahan saos tomat. Aku melihatnya, tapi aku tetap diam. "Tidak boleh menarik perhatian" adalah suatu mantra yang kutanamkan di otakku. Selanjutnya, Tori berakhir menjadi bahan tertawaan seisi kantin. Aku tidak ikut tertawa, hanya menunduk, dan menyesal.

Bisa kukatakan sekolah ini cukup nyaman, tapi entahlah, aku kesepian. Tapi baik di sekolah atau rumah, aku selalu merasakan hal yang sama. Menjadi seorang gadis, tinggal sendirian dengan dua pengasuh, tanpa orang tua dan saudara, membuatku punya banyak waktu untuk dia dan bergumul dengan isi pikiranku sendiri.

Tapi aku bukan pendiam. Hanya, aku juara satu dalam mengkhayal.

Aku menyadari ada satu tempat yang nyaman untukku, merefleksikan segala yang ada di pikiran selama seharian ini. Di Ruang Tunggu. Aku biasanya berdiam di situ, melihat berbagai macam orang lewat, berpapasan saling acuh tak acuh, melihat bagaimana mereka berinteraksi, adalah suatu terapi yang kubuat agar aku tidak kesepian.

Ada satu hal yang menarik. Di dekat sekolahku ada satu gedung tua. Mungkin itu tadinya bangunan sekolah namun entah kenapa sekarang bangunan itu diabaikan. Sudah dua hari ini, aku melihat seorang anak laki-laki, aku tidak kenal karena sepertinya ia beda kelas atau dia seniorku, entahlah, selalu naik ke dalam gedung itu. Ia berdiam di balkon, sambil memegang kameranya. Ia terduduk diam kadang, mungkin hanya sekadar pandangan kosong, lalu mengarahkan kameranya untuk menangkap apa yang ada di pandangannya. Ketika di jalanan sudah tidak ada orang lagi, mataku kutancapkan pada gerak-geriknya. Kameranya, lalu pandangan kosong lagi, dan berulang. Jujur, apabila kau yang melihatnya, pasti kau akan merasa bosan.

Tapi aku penasaran, ia selalu sendirian. Apakah ia kesepian?

Aku selalu pulang ketika ia juga pulang. Tapi hari ini, tidak sengaja ia melihatku. Aku langsung berdiri, jalan pulang menuju jalan besar.

Sepanjang jalan, aku tersenyum. Memikirkan, apakah ia juga penasaran akan kehadiranku?

Alec
-------------------------------------------------------------------------


Setiap hari, aku menunggu kapan sekolahku akan berakhir? Aku akan pindah dari Roxa menuju Aro, kota yang paling besar dengan segala kemegahannya. Aku muak berada di kota ini, dan ingin memulai hidup baru, walaupun harus menjadi fotografer jalanan. Aku muak dengan kota ini, dengan keluargaku, dengan pamanku yang (menurutku) tidak waras, dan dengan sekolah ini. Kalau saja ayahku masih ada, mungkin menetap di sini tidak menjadi masalah. Yang ia tinggalkan hanya kamera ini saja. Harta kami sudah ludes oleh paman dan anaknya, Finn.

Ketika jam pulang berbunyi, aku memutuskan untuk segera ke balkon. Aku baru sadar, kameraku tertinggal di sana. Ujian semakin dekat, dan semakin sering aku ke balkon. Tidak akan ada yang mencariku di sana.

Seperti biasa, kuminta kunci pada Drosel, yang sedang duduk-duduk di halaman belakang. Kuberikan ia dua batang rokok, hasil curianku dari kotak rokok Paman Clint yang teronggok di meja makan tadi pagi.

"Kuncinya, sudah kuberikan pada anak baru itu," ujar Drosel. Aku terkejut.
"Ia kaya, Alec. Aku hanya meminta satu dua batang rokok, tapi ia kembali dengan sekotak penuh. Jadi kuberikan saja kuncinya segera," ujarnya santai.

Kupikir Drosel cukup paham untuk tahu bahwa balkon itu kini menjadi rumahku, tempatku bersemedi hampir setiap hari. Kutinggalkan lelaki paruh baya itu, lalu aku segera berlari menuju balkon. Begitu sampai, kubanting pintu keras-keras.

Lalu yang selanjutnya, sepersekian detik, gadis itu terkejut. Dari tangannya, suatu benda meluncur ke bawah dan bunyi "praaak!" tiba-tiba terdengar. Aku tidak perlu menebaknya lagi.

Kameraku. Kameraku yang terjun bebas. Berikutnya, yang kurasakan hanya mendadak darah panas mengalir ke kepalaku. Ditambah gadis ini, yang entah darimana asalnya, yang menurutku cukup menjadi sesosok tokoh brengsek, lebih brengsek dari pamanku, sudah menjatuhkan peninggalan ayahku satu-satunya.

"Keluar," lalu ia tidak bergeming. Terpaksa kutinju dinding di sisi kanan, dan kupandang dia dengan marah, marah yang paling besar pernah kurasakan.

"KELUAR!!!!!!!!!" teriakku.

Ia berlari menuruni anak tangga. Tak lama kudengar sesuatu jatuh. Mungkin itu dia. Bagus, kalau perlu patah sekalian. Biar ia tahu, bahwa hari yang buruk ini, tidak hanya untukku. Tapi untuknya.


Leah
-------------------------------------------------------------------------

Aku memutuskan untuk mengenal anak itu lebih dekat. Ternyata ia adalah kakak kelasku, beda setahun. Berarti, ia akan lulus dalam waktu tiga hingga empat bulan lagi. Paling tidak, aku harus menemukan sesosok kesepian seperti diriku, mungkin kami memiliki banyak kesamaan.

Mungkin..

Aku mencari bapak penjaga sekolah, karena tampaknya ia yang memiliki kunci ke ruang-ruang sekolah, termasuk gedung tua itu. Aku mencari sesosok lelaki tua, dengan seragam pegawai sekolah yang sudah lusuh, dengan janggutnya yang putih, tidak terlalu panjang tapi berantakan, dan rambutnya yang agak lebih panjang dibandingkan dengan pegawai lainnya.

Aku menemukannya duduk-duduk di halaman belakang. Membaca koran, entah koran hari ini atau di tahun lampau.

"Uhm, permisi. Selamat siang, Sir..aku.."
Ia terkejut dan langsung meletakkan korannya.

"Sir? Sir katamu? Hahahahaha. Sudah 30 tahun tidak ada yang memanggilku dengan Sir." Ia tertawa terbahak-bahak.

"Ada apa? Kau datang hanya untuk memanggilku, huh?" tawanya hilang. Baru kusadari rasanya aku salah dan justru menghinanya.

"Uhm...begini...kau tahu gedung tua, dengan balkon di atas? Bolehkah aku ke sana sekarang? Uhm...maksudku...bolehkah aku meminjam kuncinya? Aku hanya akan di sana sebentar saja.."

"Bisa, tentunya bisa. Dua batang rokok, itu saja yang kuperlukan untuk bertahan sepanjang siang ini," 

"Hum, dua batang rokok? Aku tidak punya rokok, sir.."

"Namaku Drosel, tanpa Sir. Entahlah, kau yang cari. Alec bisa mendapatkannya untukku kapan saja,"

"Alec?"

"Alec, anak laki-laki aneh itu. Kau minta saja dia, atau bagaimana caranya"
Drosel membuka topinya, menutupi wajahnya dari terpaan sinar matahari yang lumayan menyengat sore itu.

Aku mengangguk dan bergegas. Wajahku cukup bingung, sangat bingung malah. Kuambil ponselku, lalu kucari nomor ketiga dari atas.

Nada sambung, lalu pemilik nomor menyahutnya.

"Halo, Miss,"

"Halo, Don. Don, apakah kau merokok?"
Don, supirku, mendadak panik.

"Apa, Miss? Miss, berani sumpah aku tidak merokok, cerutu, tembakau atau apapun. Apakah aku bau tembakau, Miss?"

Aku tersenyum. "Nope, Don. Kalaupun kau merokok, aku tidak masalah. Tapi, bisa kau belikan aku dua batang rokok?

"Dua batang, Miss?"

"Yups"

"Tapi, kita harus membeli sekotak rokok, Miss. Tidak bisa jika hanya dua,"

"Hum.. tidak apa-apa. Aku tunggu di pagar ya, Don."

Tidak lama, kudapatkan sekotak rokok itu. Entah apa merknya, tapi Drosel tampak sangat senang. Tentu, ia memberikan kunci itu tanpa ragu-ragu. Kuambil, dan tidak berapa lama, aku sudah sampai di balkon paling atas.

Pemandangannya menyenangkan, dan aku menikmatinya. Tidak kaget bila, Alec, atau siapapun namanya jika aku tidak salah dengar, menghabiskan sepanjang waktu di sini.

Tidak berapa lama, kutemukan kamera itu. Kamera analog itu tampak tidak asing. Sepertinya dulu aku pernah melihat benda itu, tapi aku sudah agak lupa.

Kupegang kamera itu, mencoba mencari cara bagaimana cara mengoperasikannya. Aku coba mengarahkannya pada langit, atau objek apapun. Tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, kurasa Alec tidak akan terlalu marah jika aku meminjam kameranya.

Selang beberapa menit, kudengar bunyi orang bergegas menaiki tangga, dan pintu mendadak dibanting, aku terkejut, peganganku lepas.

Kamera itu terjun bebas.

Selanjutnya, yang kulihat hanya dirinya, tampak marah. Mengalahkan Birdie bila ia tahu aku melanggar aturannya.

"Keluar," ia berkata tajam, tidak teriak. Tapi kulihat tubuhnya bergetar. Sejenak aku hendak menarik napas dan memberikan alasan, tetapi..

"KELUAR!!!!!!!!!" tiba-tiba ia berteriak kencang. Aku terkejut. Aku seperti melihat orang kesetanan. Aku ambil tasku, sesuatu terjatuh tapi aku memutuskan untuk bergegas menuruni tangga. Tepat di lantai dua, aku terpeleset, jatuh dan kurasakan pergelangan kakiku sakit luar biasa. Masih ada beberapa anak tangga lagi, aku kesakitan, dan perlahan berjalan. 

Butuh 10 menit hingga sampai di lantai dasar. Aku keluar. Aku lupa kapan terakhir melihat seseorang marah dan membentak seperti itu. Jujur, sakit di pergelangan kaki kananku tidak sebanding dengan bentakannya. 

Sesampainya aku di rumah, Birdie pasti akan menginterogasiku, sampai kukatakan semuanya tanpa bersisa ada rahasia.

Dan besok, aku sudah memiliki seorang musuh permanen, yang mungkin akan membenciku seumur hidupnya..


(to be continued)





Comments

Popular posts from this blog

(Bukan) Tips and Tricks UKMPPD!

Sudah seabad tidak menulis, akhirnya tergerak nulis setelah beberapa saat lalu ada adik-adik yang nanya : "Kak, bentar lagi UKMPPD, huhu" "Kak, lesnya gimana?" "Kak, aku ikut les yang mana ya kak?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah beberapa (dari sekian) pertanyaan yang saya ajukan ke kakak-kakak yang sebelumnya sudah lulus UKMPPD sebelumnya. Jujur, dari sekian banyak hal yang saya takutkan, UKMPPD ini adalah salah satunya. Kalau ditarik beberapa bulan ke belakang, masih nggak nyangka bisa lulus. UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter) merupakan ujian akhir yang pastinya harus dilewati setiap mahasiswa kedokteran di Indonesia untuk dapat lulus dan akhirnya disumpah menjadi seorang dokter. Karena ujian ini betul-betul yang terakhir sebelum memperoleh gelar dokter, makanya perjuangannya gila-gilaan. Tapi, harus segila apa sih? Tulisan ini, seperti judulnya : Bukan Tips and Tricks, maka isinya memang bukan gimana caranya kita lul...

Drama Ngeklik Internsip (Part 2) : END!

I'm dying to get this announcement! Setelah beberapa minggu ini cukup hectic, saya baru kesampaian untuk menuliskan pengalaman ngeklik isip yang dag-dig-dug-dhuar itu. Karena sudah telat updatenya, jadi saya segera ceritakan saja ya, tentang jatuh bangun ngeklik isip. Note : sebetulnya agak hiperbola kalau dibilang drama. Tapi, ini adalah salah satu momen drama dalam hidup saya akhir-akhir ini. jadi, enjoy aja ya. kan kalo judulnya nggak drama, nanti kalian ngga mau baca lagi hahaha lol! Phase 1 : Survey! Sebulan atau dua bulan sebelum ngeklik, saya survey nih ya ke tempat ngeklik. Ngapain sih survey? Dasarnya adalah karena warnet ini jauh banget dari rumah saya, dan saya sangat asing dengan daerah ini. Kebetulan saya nganggur, saya memutuskan buat mengunjungi warnet-warnet ini. Dua warnet yang saya pilih adalah Mineski dan Supernova, dan dua-duanya berlokasi di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Beneran buta daerah sana. Selain itu, saya juga sebenernya pengen tahu...

She is a Ghost, She is Falling in Love (4)

Di sekolah.. "Aduh, lo lupa bawa larutan NaCl? Gila!!" bentak Elis. Reana yang baru masuk kelas pun terkejut. "Eh, apa-apaan sih lo, kok marah-marah?" tanya Reana. Kiran pun hanya bisa menangis. "Ah, Kiran, lo tau nggak sih kalo eksperimen ini penting buat gue. Nilai gue udah jelek di Biologi. Lo sih enak nilainya bagus. Tega!" Elis bicara dengan nada tinggi. "Ehm, so..so..sorry, Lis. Gue nggak ada niat apapun. Gue nggak sengaja" ujarnya, sambil menangis. "Eh, udah ah. Larutan garam kan bisa dibikin di dapur" ujar Reana. "Alah, lo urus deh, Re. Jam terakhir nanti harus ada," seru Elis kepada Reana. Reana pun menenangkan Kiran. "Ran, udah jangan nangis. Nanti gue temenin lo pas istirahat ya. Nggak papa kok, jangan nangis ya," ujar Reana menenangkan. Kiran hanya mengangguk, sambil menangis. Jam pertama pun mereka lalui, dengan diam. -- "Eh Ran, lo bisa bikin sendiri kan larutannya?" tanya Re...