(source : twitter, ofc)
"Nggak papa, mungkin ini lo diisolasi supaya bisa makin kenal diri lo sendiri"
What an interesting thought at first when I knew that I had to be isolated since I got the COVID-19. Pas tahu positif dan harus diisolasi, serius yang kupikirin adalah orang rumah, jadwal jaga, dan harus ngapain aja selama isolasi ini. Tapi belum kepikiran untuk mikirin momen isolasi ini untuk mengenal diri sendiri, sampai salah seorang teman mengucapkan hal tersebut.
Hari pertama, minggu pertama, rasanya masih ramai. Ramai menyelesaikan urusan perswaban, masih zoom-soom dengan teman-teman terdekat, masih di lantai 5 rumah sakit sama nakes lain yang positif.
Tapi minggu kedua dan seterusnya, kebanyakan aku habiskan waktu harian ya dengan diriku sendiri. Sebelum akhirnya mulai sedikit demi sedikit terbuka sama orang lain di luar inner circle aku kalau aku sakit. But I really enjoyed it. Menikmati kesendirian itu, seolah hidup dalam ruangan yang sama, kegiatan repetitif, di saat kadang aku jenuh juga, tapi aku menikmati aja sih.
And I just trying to figure out myself.  Sering aja kadang monolog sendiri, mungkin agak edan juga, tapi kayak aku ngelihat diriku sebagai seorang Stella dari sisiku sendiri. Bukan dari sisi orang lain. Aku nikmatin masa-masa ngedengerin Spotify, cari lagu-lagu baru dengan genre baru, dengan bahasa baru yang enggak aku kenal, dan melihat orang lain di luar sana berputar dalam keseharian mereka.
I found serenity in my own isolation. Aku nangis, ya nangis aja. Ketawa, ya ketawa aja. Nggak seperti di dunia nyata, harus memikirkan orang lain, harus menghabiskan energi untuk orang lain. Dua bulan isolasi ini, aku gunakan untuk diriku sepenuhnya. Mungkin itu juga yang sering bikin aku lelah, atau sakit. Too much thinking. Thinking the other, thinking what they're feeling or how it feels to be them.
Makanya pas masuk, ketika muncul masalah satu per satu (di sisi lain, aku juga membuat suatu pertahanan mental bahwa seiring kita dewasa pun masalah akan selalu muncul satu demi satu, dan demikian juga dengan solusinya, ya kan? human grows, human learns), agak melelahkan buat aku. Di saat sudah lama enggak interaksi sama orang banyak dan sekarang sudah mulai menjalani masa-masa rutinitas dan sibuk, hmm, rasanya agak lelah juga sih ya.
But I learn a lot from my dearest pals around me, my inner circle nowadays, my family, and all those fvckin' problems around. Gimanapun, tetap butuh orang lain untuk belajar, soalnya hidup kan nggak soliter layaknya uniseluler, yakan?
Sendirian itu kadang nyaman, kadang menyesakkan, dan kadang dibutuhkan. Kadang orang lain bikin kita lelah, penat, dan di sisi lainnya, orang lain dan dunia ini sepenuhnya adalah tempat belajar, sampai kita menghela napas yang terakhir, sampai saatnya kita yang pergi...
  
Comments
Post a Comment