Intermezzo #13 : Analogi Goreng Bakwan :Bekerja Jangan Disambi (Ditulis oleh Orang yang Suka Nyambi dan Terdistraksi)
Sebelumnya maaf apabila rangkaian kata dan tanda baca masih salah peletakannya. Agak pusing karena ditulis di sembari berangkat naik KRL. Tulisan ini sudah terpikir sejak minggu lalu, tapi baru sempat kekirim sekarang. 
Minggu lalu, saya iseng disuruh dan menyanggupi goreng bakwan jagung. Menurut saya, goreng bakwan jagung atau bakwan sayur, bagian yang menyebalkan adalah menunggu adonan matang di penggorengan. Belum lagi mengatur apinya. Terlalu besar jadi gosong, terlalu kecil justru tidak matang-matang. Saya yakin, para pembaca sekalian paham dan paling tidak sekali seumur hidup pernah merasakan sabar-sabar gemas menunggu gorengan matang, "sampai kuning keemasan" kalau kata Bu Sisca Soewitomo dulu.
Kemarin ketika saya menggoreng, rupanya api yang saya pasang terlalu kecil. "Duh, nanti kegedean sedikit gosong nih". Akhirnya saya putuskan adonan setengah matang itu saya balik, dengan pemikiran kalau sisi lainnya sudah setengah matang, sisi sebelahnya saya matangkan setengah lagi, lalu bolak-balik sekali, dan tadaa, jadilah gorengan nan indah ala gambar bungkus tepung bakwan.
Ternyata eh ternyata, kok waktunya yang terbuang jadi lebih lama. Dengan durasi semakin lama si bakwan ini terendam, minyak yang terserap juga makin banyak dong. Akhirnya, saya mainkan apinya, dibesarin sedikit, dikecilin sedikit, sampai sisi satunya matang sempurna, lalu saya balik dan melakukan hal yang sama. Tadaaa, jadilah bakwan yang saya inginkan dalam waktu yang tentatif lebih singkat.
Lalu saya berpikir, apakah hal ini bisa saya relasikan dalam menghadapi pekerjaan dan tugas sehari-hari, ya?
Iseng saya mempraktekkan hal ini. Selama ini, saya tipikal yang semua tugas dikerjakan separuh, setengah-setengah, dan terdistraksi nonton Youtube, Netflix, atau sambil dengerin Spotify. Saya membatin, energi dan waktu saya kok terbuang sia-sia ya. Rasanya capek, ilmunya terserap hanya sekian persen. Pekerjaan jadi tidak maksimal. Wah, serba salah pokoknya.
Lalu minggu ini, coba saya kerjakan. Saya baca di Medium, mengenai "How to Overcome Procrastinator and Build Solid Habit", ditulis oleh Michael Rauscher seorang self development writer gitu. Saya tertarik pada poin keempat : do a Minimal Execute Work.
Artinya, lakukan pekerjaan itu secara fokus dan terarah, satu-persatu. Dibilang harus ngoyo (baca : kerja keras), itu memang tidak bisa disamakan satu-sama lain. Artinya minimalnya tiap orang itu, beda-beda. Katakan jika seminggu harus ada 10-14 jurnal yang harus kita bahas atau ada 15 materi yang harus kita kuasai, artinya kita memang harus ngoyo, jumlah minimal itu harus kita kerjakan dalam seminggu. Saya lebih suka menghitung seminggu itu arti ya 5 hari. Saya baru sadar, gini rasanya menjadi orang yang bekerja dan pentingnya hari Sabtu Minggu, even buat freelancer sekalipun.
Seperti menggoreng bakwan, matangkan satu sisi baru berpindah ke sisi lain, mari kita mulai melakukan eksekusi untuk tiap pekerjaan. Prinsip yang baru saya dapat, jangan pernah anggap tanggung jawab sekecil apapun itu tidak bermakna. Karena itu termasuk langkah kecil kita untuk belajar.
Jadi, siapkah kita kerja tanpa nyambi dan distraksi?
Selamat menjadi produktif!
- S
  
  
  
Comments
Post a Comment