Alkisah, ada dua insan bernama si Sendok Emas dan Si Jelata. Mereka berdua lahir di waktu yang sama, dengan jam, detik, dan menit yang sama, kala fajar menyingsing. Takdir mempertemukan mereka entah bagaimana. Walaupun berada di tanah yang sama, Sendok Emas tinggal di istananya, dan Jelata tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun Sendok Emas, suatu tempat di pojokan.
"Kamu, sahabatku. Jadi kita harus tinggal berdekatan" ujar Sendok Emas suatu hari.
Jelata hanya mengangguk. "Tapi aku tidak akan pernah memanggilmu dengan sebutan Tuan, seperti para pelayanmu,"
Sendok Emas bingung, "Kenapa? Sejak lahir semua orang memanggilku Tuan Muda. Kok kau berani memanggil namaku?"
Jelata tersenyum.
"Hai Sendok Emas, kau bilang aku sahabatmu, bukan? Seorang sahabat memanggil satu dengan yang lain dengan nama. Kita sederajat, bung. Kaya tidak membuatmu lebih tinggi dariku."
Sendok Emas menyetujuinya. Sejak hari itu, ia berjanji untuk selalu mendengarkan Jelata.
Suatu hari, mereka berjalan berkeliling di pemukiman tersebut. Tampak seorang kakek tengah bersantai di dipan, di bawah pohon depan rumahnya. Kakek itu bersantai, menikmati angin semilir yang bertiup, sama santainya dengan gelagat si kakek. Ditemani sebungkus rokok dan segelas kecil kopi hitam yang sisa separuh. Nyaman..
"Aduh, enaknya leyeh-leyeh sore, rek!" ujar Jelata
Sendok emas mengernyitkan dahi. Matanya dipicingkan, raut wajah kebingungan.
"Apa itu leyeh-leyeh? Makanan?" tanya Sendok Emas.
"Leyeh-leyeh, Sendok Emas. Bersantai, tiduran, melepaskan penat. Si Kakek itu pasti kelelahan setelah mencari kayu-kayu untuk kayu bakar yang akan dijual di kota. Sungguh nikmat, leyeh-leyeh.." Jelata menjelaskan sambil senyam-senyum memandangi Si Kakek.
"Hah? Bersantai? Apa enaknya bersantai seperti itu?
Oh ya! Bersantai seperti itu bisa kulakukan kapanpun. Aku leyeh-leyeh setiap hari. Sama saja rasanya. Mengantuk ya tidur, santai ya santai, apa enaknya? Apalagi, gubuknya terlalu sederhana, lantai beralas tanah, debu di mana-mana. Apa enaknya, Jelata?" Sendok Emas bingung dan bertanya-tanya.
"Wahai Sendok Emas, sahabat yang paling kusayangi. Kakek itu sama sepertiku. Kami harus bekerja, karena uang tidak lahir dari kantung kami. Kami harus berjuang dalam setiap hari yang kami jalani untuk bertahan hidup. Tentulah kami merasakan penat dan lelah. Di sela-sela itu, Tuhan memberikan jeda. Jeda untuk kami menyeruput kopi hitam, menghisap sepuntung rokok, dan melihat ke langit untuk memandang hari ke belakang dan berharap pada hari ke depan" Jelata menjelaskan perlahan, berharap sahabatnya mengerti.
"Kau mau bersantai bersamaku? Bisa, lho. Aku bisa memberikan separuh hartaku, kalau kau mau." ujar Sendok Emas.
"Lho, tidak begitu Sendok Emas. Kita, hanya bayi yang dilahirkan dengan segenggam takdir dari Yang Maha Esa. Takdir itu tergurat, sudah tertulis, dan kita bawa sampai mati. Memang rejekimulah engkau terlahir kaya, dan rejekikulah aku terlahir jelata, sama seperti namaku. Tapi kaya, miskin, bukanlah suatu patokan bagiku untuk mendapat kebahagiaan. " Jelata menghela napas sejenak.
"Kalau kami kesusahan, kami akan bekerja keras. Mungkin itu tidak perlu kau rasakan. Mungkin di kehidupan yang lalu, engkaulah anak jelata dan akulah si Sendok Emas. Mungkin hidupmu dulu sengsara, lalu kau terlahir kembali dengan harta melimpah, mungkin saja. Aku tidak pandai mengenai masalah manusia dan Tuhannya," Jelata memandang Sendok Emas. Tampak raut kebingungan sudah sedikit memudar dari wajahnya.
"Lalu aku harus apa? Apakah harta ini akan menjauhkan aku dari kebahagiaan, atau justru memuaskanku? Kau kubagi hartaku saja menolak, tapi aku tidak tahu cara bekerja, cara berusaha, semua ada..seperti yang kau bilang, di kantongku..." Sendok Emas merasa sedih dengan dirinya sendiri.
"Pergunakanlah hartamu sebaik-baiknya. Bekerjalah, bekerja bukan untuk menimbun harta benda. Bekerjalah laksana manusia memiliki kodrat untuk berusaha. Takdir memang kita genggam, tapi kau tetap punya kuasa dan hati nurani untuk menjalankan hidup. Bukan lalu berpasrah. Berusahalah, maka kau akan merasakan enaknya leyeh-leyeh." Jelata menjelaskan dengan bijaksana.
Sendok Emas lalu mulai meniru Jelata. Ia tidak lagi bersantai di kasurnya. Ia bekerja, mendekatkan diri dengan semua insan yang ia kenal. Mendekatkan diri untuk mengenal Tuhannya. Sesekali ia dan Jelata leyeh-leyeh di istanyanya. Membicarakan tentang hidup, mati, dan apapun yang mereka temui hari itu. Leyeh-leyeh, waktu bermakna di antara mereka, dengan dua cangkir kopi hitam kualitas nomor satu. Tak jarang, sesekali Sendok Emas yang leyeh-leyeh di bumi Jelata. Tak peduli betapa sederhananya, atau betapa mewahnya, waktu leyeh-leyeh itu selalu penuh cerita dan canda, kadang haru dan biru. Kadang bercerita tentang anak, istri, dan cucu.
-----
Tiba kala itu senja. Telah puluhan tahun mereka menempuh kehidupan di bumi, dan puluhan tahun mereka bertukar cerita. Saat ini keduanya sudah tidak berdaya, terduduk di kursi goyang di istana Sendok Emas. Keduanya memandang perlahan matahari tertelan di ufuk barat.
"Jelata, tahukah kamu bahwa kita berdua lahir di waktu yang sama? Saat matahari terbit dari ufuk timur dan langit gelap mulai berganti terang?" tanya Sendok Emas.
"Tahu, kawan. Saat itu Bunda berkata ada dua ayam berkokok, seolah memberitakan pada khalayak bahwa kita berdua lahir. Sungguh menggelikan" Jelata dan Sendok Emas tertawa.
"Jelata, leyeh-leyeh ini.. terasa sangat damai, bukan?"
"Sangat, Sendok Emas"
"Terima kasih karena kau ajarkan makna leyeh-leyeh kepadaku sore itu, Sendok Emas."
"Sudah tugas seorang sahabat untuk bercerita, Sendok Emas"
Apakah kelak, kita bisa leyeh-leyeh bersama Tuhan kita? Sambil melihat awan putih dan segala imajinasi surgawi?"
Jelata mengangkat tubuhnya sedikit. Ia memandang Sendok Emas.
"Bisa. Bersama Tuhan, kita akan leyeh-leyeh dan melihat bagaimana bumi berputar, cakrawala membentang, dan matahari timbul tenggelam"
Keduanya tersenyum. Mereka memandangi matahari yang perlahan tenggelam.
Kala matahari lahir, mereka lahir.
Kala matahari tenggelam, mata mereka terpejam.
Setiap hembusan nafas, terbang bersama angin yang semilir ke atas.
Di atas sana, Tuhan sudah menjaring setiap napas mereka, dan bersiap menyambut mereka, di rumah Nya..
- Stella.
(Semoga tulisan iseng di Sabtu ini, bisa menyentuh anda semua. Terinspirasi saat naik ojek, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak sedang memakai baju bertuliskan "leyeh-leyeh". Selamat menikmati)
Comments
Post a Comment