Di sekolah..
"Aduh, lo lupa bawa larutan NaCl? Gila!!" bentak Elis. Reana yang baru masuk kelas pun terkejut. "Eh, apa-apaan sih lo, kok marah-marah?" tanya Reana. Kiran pun hanya bisa menangis. "Ah, Kiran, lo tau nggak sih kalo eksperimen ini penting buat gue. Nilai gue udah jelek di Biologi. Lo sih enak nilainya bagus. Tega!" Elis bicara dengan nada tinggi. "Ehm, so..so..sorry, Lis. Gue nggak ada niat apapun. Gue nggak sengaja" ujarnya, sambil menangis. "Eh, udah ah. Larutan garam kan bisa dibikin di dapur" ujar Reana. "Alah, lo urus deh, Re. Jam terakhir nanti harus ada," seru Elis kepada Reana. Reana pun menenangkan Kiran. "Ran, udah jangan nangis. Nanti gue temenin lo pas istirahat ya. Nggak papa kok, jangan nangis ya," ujar Reana menenangkan. Kiran hanya mengangguk, sambil menangis. Jam pertama pun mereka lalui, dengan diam.
--
"Eh Ran, lo bisa bikin sendiri kan larutannya?" tanya Reana, ketika mereka di dapur. "Bisa kok. bisa" ujar Kiran. Reana pun meletakkan timbangan di hadapan Kiran, "Nih, gue udah pinjem timbangan dari lab. Maaf ya, gue jadi nggak enak sama lo," ujar Reana. Kiran tersenyum. "Nggak apa-apa. Gue kok yang salah. Makasih ya, lo nggak marah sama gue." ujar Kiran. "Aduh, haha, jadi pada saling nggak enak gini. Kiran, gue tinggal dulu ya, gue musti ngumpul sama anak mading," ujar Kiran. "OK", ujar Kiran.
Pelan-pelan kiran menakar garam, air, lalu membuat larutannya. "Hmm, Reana baik banget," ujarnya dalam hati. Setelah larutannya selesai, Kiran pun hendak menuju laboratorium biologi. "Mana sih tempat timbangan? Eh, eh, tinggi amat tempatnya!" seru Kiran. Kiran pun mencari kursi. Tapi kursinya tidak cukup tinggi buatnya. Tiba-tiba.."Eh, ngapain lo di atas sana?" tanya Angga. Kiran yang hapal suara Angga pun tanpa sengaja melepas timbangan. "Yah, timbangannya!" teriak Kiran. "Eh, eh, hap!" ujar Angga. Untung Angga bisa menangkap timbangan itu. "Wei, gila. Sini lo turun, biar gue yang naro di sana," ujar Angga. "Eh, eh, makasih Angga" ujar Kiran tersipu. Angga pun dengan mudahnya meletakkan timbangan itu. "Anjir, spot jantung gue. Tinggi juga, ya. Eh, lo temen sekelas Reana, kan? Kiran kan?" tanya Angga. "Eh, iya. Gue Kiran. Makasih ya, tadi. Lo ngapain di sini?" Kiran nanya balik. "Oh, gue disuruh Bu Emil ke lab, ngambil berkas penelitian. Lo udah eksperimen sel tumbuhan belom?" tanya Angga. "Nih, gue barusan bikin larutannya. Gue baru mau kerja kelompok," ujar Kiran. Mereka pun sampai di depan kelas Kiran. "Eh, makasih ya, tadi. Gue duluan" ujar Kiran. Angga hanya tersenyum.
Dan saat itu, detak jantung Kiran berdegup lebih kencang, dari biasanya.
--
"Syukur deh, itu larutan jadi. Eksperimen kita lancar!" ujar Elis. "Iya, untung tadi Kiran bisa bikin larutannya" ujar Reana. Kiran terdiam, ia masih takut dengan Elis. "Eh iye, makasih ya, lo udah bikin gue jantungan pagi ini. Lain kali jangan lupa lagi yak! Hidup gue tergantung dari eksperimen doang nih!" ujar Elis. "Eh iya, sama-sama. Maaf ya. Eh gue balik duluan ya" ujar Kiran.
"Ih tu anak, introvert banget yak! Kalo gak ada kita, dia paling udah bikin eksperimen sendirian," ujar Elis. Reana menjitak Elis. "Adooow, doyan amat sih lo ngejitak gue!" ujar Elis, sambil terkekeh. "Heh, lo galak amat sih sama orang. Dia jadi tambah takut, tau! Lain kali jangan dimarahin lagi, Lis" ujar Reana. Elis hanya geleng-geleng kepala. "Re, re, lo jadi orang kok baik banget. Pantesan si akang suka sama lo, hahaha" tawa Elis. Reana pun tersenyum. "Akang apaan dah? Sahabatan, you know!" teriak Reana di depan kuping Elis. "Wei budek gue!". "Bodoooo, hahaha. Lo juga kemaren teriak-teriak nggak jelas!" ujar Reana sambil tertawa.
"Eh Re, itu apaan di bawah meja?" tanya Elis. "Eh apaan? Coretan matematika kali" ujar Reana cuek. Elis mengambil kertas itu. Ia terdiam. "Re, gue baru tau lo bisa gambar!" ujar Elis. "HAH?" Reana bingung. "Anjir, speechless gue! Waoow, hahaha!" Elis ketawa ngakak. "Apaan sih? Gue gak pernah gambar," ujar Reana sambil merebut kertas dari tangan Elis.
Sekarang giliran Reana yang terdiam. "Ini muka Angga, kan?" tanyanya kepada Elis. "Iyalah, itu Angga. Persis amat, jago lo!" ujar Elis. "Gue..gue nggak bisa gambar. Ini bukan punya gue!" ujarnya. "HAH??" Elis pun terkejut.
--
"Rea sayang, makan yuk!" ajak Tante Erri, mama Reana. "Ehm, entar ma. Nanggung, mama duluan aja," ujar Reana, sibuk menulis. Tante Erri hanya geleng-geleng kepala. "Reana, Reana. Masih SMA udah kayak orang kerja aja, nih. Jangan lupa makan, Nak!" ujar Tante Erri seraya menutup pintu. "Haha, mama bisa aja sih!" ujar Reana dalam hati.
Tiba-tiba ia teringat akan lukisan wajah Angga. Ia pun mengambilnya dari map. "Eh, ini bagus banget. Berarti yang gambar beneran nggak main-main", renungnya dalam hati. Ia menghela napas. "Berarti ada orang lain, ada orang lain yang sayang sama Angga. Tapi siapa?" ia merenung lagi. Di tengah keresahannya, Reana pun langsung turun, mencoba melupakan si "pelukis rahasia" itu.
"Aduh, lo lupa bawa larutan NaCl? Gila!!" bentak Elis. Reana yang baru masuk kelas pun terkejut. "Eh, apa-apaan sih lo, kok marah-marah?" tanya Reana. Kiran pun hanya bisa menangis. "Ah, Kiran, lo tau nggak sih kalo eksperimen ini penting buat gue. Nilai gue udah jelek di Biologi. Lo sih enak nilainya bagus. Tega!" Elis bicara dengan nada tinggi. "Ehm, so..so..sorry, Lis. Gue nggak ada niat apapun. Gue nggak sengaja" ujarnya, sambil menangis. "Eh, udah ah. Larutan garam kan bisa dibikin di dapur" ujar Reana. "Alah, lo urus deh, Re. Jam terakhir nanti harus ada," seru Elis kepada Reana. Reana pun menenangkan Kiran. "Ran, udah jangan nangis. Nanti gue temenin lo pas istirahat ya. Nggak papa kok, jangan nangis ya," ujar Reana menenangkan. Kiran hanya mengangguk, sambil menangis. Jam pertama pun mereka lalui, dengan diam.
--
"Eh Ran, lo bisa bikin sendiri kan larutannya?" tanya Reana, ketika mereka di dapur. "Bisa kok. bisa" ujar Kiran. Reana pun meletakkan timbangan di hadapan Kiran, "Nih, gue udah pinjem timbangan dari lab. Maaf ya, gue jadi nggak enak sama lo," ujar Reana. Kiran tersenyum. "Nggak apa-apa. Gue kok yang salah. Makasih ya, lo nggak marah sama gue." ujar Kiran. "Aduh, haha, jadi pada saling nggak enak gini. Kiran, gue tinggal dulu ya, gue musti ngumpul sama anak mading," ujar Kiran. "OK", ujar Kiran.
Pelan-pelan kiran menakar garam, air, lalu membuat larutannya. "Hmm, Reana baik banget," ujarnya dalam hati. Setelah larutannya selesai, Kiran pun hendak menuju laboratorium biologi. "Mana sih tempat timbangan? Eh, eh, tinggi amat tempatnya!" seru Kiran. Kiran pun mencari kursi. Tapi kursinya tidak cukup tinggi buatnya. Tiba-tiba.."Eh, ngapain lo di atas sana?" tanya Angga. Kiran yang hapal suara Angga pun tanpa sengaja melepas timbangan. "Yah, timbangannya!" teriak Kiran. "Eh, eh, hap!" ujar Angga. Untung Angga bisa menangkap timbangan itu. "Wei, gila. Sini lo turun, biar gue yang naro di sana," ujar Angga. "Eh, eh, makasih Angga" ujar Kiran tersipu. Angga pun dengan mudahnya meletakkan timbangan itu. "Anjir, spot jantung gue. Tinggi juga, ya. Eh, lo temen sekelas Reana, kan? Kiran kan?" tanya Angga. "Eh, iya. Gue Kiran. Makasih ya, tadi. Lo ngapain di sini?" Kiran nanya balik. "Oh, gue disuruh Bu Emil ke lab, ngambil berkas penelitian. Lo udah eksperimen sel tumbuhan belom?" tanya Angga. "Nih, gue barusan bikin larutannya. Gue baru mau kerja kelompok," ujar Kiran. Mereka pun sampai di depan kelas Kiran. "Eh, makasih ya, tadi. Gue duluan" ujar Kiran. Angga hanya tersenyum.
Dan saat itu, detak jantung Kiran berdegup lebih kencang, dari biasanya.
--
"Syukur deh, itu larutan jadi. Eksperimen kita lancar!" ujar Elis. "Iya, untung tadi Kiran bisa bikin larutannya" ujar Reana. Kiran terdiam, ia masih takut dengan Elis. "Eh iye, makasih ya, lo udah bikin gue jantungan pagi ini. Lain kali jangan lupa lagi yak! Hidup gue tergantung dari eksperimen doang nih!" ujar Elis. "Eh iya, sama-sama. Maaf ya. Eh gue balik duluan ya" ujar Kiran.
"Ih tu anak, introvert banget yak! Kalo gak ada kita, dia paling udah bikin eksperimen sendirian," ujar Elis. Reana menjitak Elis. "Adooow, doyan amat sih lo ngejitak gue!" ujar Elis, sambil terkekeh. "Heh, lo galak amat sih sama orang. Dia jadi tambah takut, tau! Lain kali jangan dimarahin lagi, Lis" ujar Reana. Elis hanya geleng-geleng kepala. "Re, re, lo jadi orang kok baik banget. Pantesan si akang suka sama lo, hahaha" tawa Elis. Reana pun tersenyum. "Akang apaan dah? Sahabatan, you know!" teriak Reana di depan kuping Elis. "Wei budek gue!". "Bodoooo, hahaha. Lo juga kemaren teriak-teriak nggak jelas!" ujar Reana sambil tertawa.
"Eh Re, itu apaan di bawah meja?" tanya Elis. "Eh apaan? Coretan matematika kali" ujar Reana cuek. Elis mengambil kertas itu. Ia terdiam. "Re, gue baru tau lo bisa gambar!" ujar Elis. "HAH?" Reana bingung. "Anjir, speechless gue! Waoow, hahaha!" Elis ketawa ngakak. "Apaan sih? Gue gak pernah gambar," ujar Reana sambil merebut kertas dari tangan Elis.
Sekarang giliran Reana yang terdiam. "Ini muka Angga, kan?" tanyanya kepada Elis. "Iyalah, itu Angga. Persis amat, jago lo!" ujar Elis. "Gue..gue nggak bisa gambar. Ini bukan punya gue!" ujarnya. "HAH??" Elis pun terkejut.
--
"Rea sayang, makan yuk!" ajak Tante Erri, mama Reana. "Ehm, entar ma. Nanggung, mama duluan aja," ujar Reana, sibuk menulis. Tante Erri hanya geleng-geleng kepala. "Reana, Reana. Masih SMA udah kayak orang kerja aja, nih. Jangan lupa makan, Nak!" ujar Tante Erri seraya menutup pintu. "Haha, mama bisa aja sih!" ujar Reana dalam hati.
Tiba-tiba ia teringat akan lukisan wajah Angga. Ia pun mengambilnya dari map. "Eh, ini bagus banget. Berarti yang gambar beneran nggak main-main", renungnya dalam hati. Ia menghela napas. "Berarti ada orang lain, ada orang lain yang sayang sama Angga. Tapi siapa?" ia merenung lagi. Di tengah keresahannya, Reana pun langsung turun, mencoba melupakan si "pelukis rahasia" itu.
Seru banget ceritanya, deh, Kak ..! Buruan buat yang selanjutnya, dong. Aku mau baca, hehehe
ReplyDeletemakasih efi, haha. Sip-sip. Liburan ini aku lanjutin terus ceritanya :)
ReplyDelete*mjb
ReplyDeleteKakak~
Keren banget, ngga sabar liat lanjutannya :)
sip, haha, tunggu episode selanjutnya ya :D
ReplyDelete